Kendali: Sebelum Semuanya Berubah Beku
![]() |
Gambar diolah oleh A. |
Maret 2025 merupakan bulan penuh kendali. Baik dan buruk setiap hari menjadi materi kultum usai salat Tarawih maupun Subuh. Setiap orang yang menyerap intisari bulan Maret—bertepatan dengan pelaksanaan ramadan, terbiasa dengan pengendalian dan kontrol diri. Berharap hidupnya semakin baik, dosa-dosa terampuni, serta titik idealnya kembali fitri ketika hari kemenangan tiba.
Dunia memang penuh kejutan. Tak ada yang tahu. Kala orang-orang mengharap berkah dengan sungguh kepada Tuhan, otoritas negara justru tak mengindahkan bahwa ramadan adalah bulan suci. Sehari setelah peringatan Nuzulul Quran yang dirayakan umat Islam seantero jagad, perayaan di negara yang diasosiasikan masyarakatnya dengan wilayah fiksi “Konoha” atau “Wakanda” justru terlukai karena bunyi ketok palu dari sebuah gedung berbentuk kura-kura.
Tok...: hidupmu tak bebas lagi.
Kebebasan di bawah kendali jawaban “siap” atau suara dor. Aneh, bukan? Tak ada lagi guyonan “dolanane wong sing ora kumanan bedhil” terdengar jenaka. Seram. Bahasa berubah kaku. Daya pragmatis bahasa membeku. Tunggal. Singkat. Hanya ada satu kata: siap.
Kalau begitu agar kita tetap bisa merawat pemahaman bahwa bahasa adalah milik kita semua, dan tidak direnggut mereka yang terbiasa menggunakan bahasa dengan maksud tunggal, maka membaca menjadi jalan tempuh yang paling mungkin. Wawancara Leluasa bertajuk Radio Junkies: Pecandu Radio dari Surakarta (14/3), memungkinkan kita untuk membayangkan ketika interviu itu terjadi.
Radio Junkies panjang lebar menjelaskan proses yang mereka jalani ketika membentuk band hingga melahirkan album bertajuk Self Titled (2024). Meski menghadapi situasi yang tidak mudah saat menggarapnya, Radio Junkies tetap memastikan bahwa rencana mesti diwujudkan. Penghargaan kepada kawan berproses adalah nilai batin yang terbayarkan ketika album tersebut rilis.
Dari Kota Surakarta, Radio Junkies mengibarkan benderanya. Sepuluh lagu diciptakan oleh mereka agar para pendengar bertaut dengan apa yang mereka tawarkan. Hal itu seolah mengingatkan kita bahwa dalam momen tertentu, sesuatu terdengar puitik-romantik. Barangkali itu yang akan kita rindukan di masa mendatang. Saat mata enggan terlelap, dan kepala berada di antara bayang-bayang.
“Siap, Ndan!”
“Sekali lagi.”
“Siap, Ndan!”
Waktu menolak kaku. Bahasa enggan diatur. Kartun Popeye membawa kita pada efek bayam yang menambah kekuatan saat berlayar. Sementara itu, A. menggubah bayam yang secara harafiah kita kenal sebagai sayur menjadi puisi. Di dalam puisi Memasak Sayur Bayam (23/3), A. memberi ruang yang cukup bebas bagi dua diksi bahasa Indonesia, yakni garam dan hambar.
Dalam ruang bebas itu, lema “apakah” muncul di setiap baris puisi yang ditulis A. Bahasa dalam puisi penuh dengan kebebasan. Jika bahasa adalah tarian, mungkin saja bahasa sedang meliuk-liuk di atas panggung diiringi tepuk tangan. Begitupun, bahasa, juga bisa hambar. Tak berarti apa pun. Hal itu terjadi apabila bahasa dikendalikan oleh pihak-pihak yang dominan.
“Maksudmu, apa?”
“Siap, salah, Ndan. Itu puisi, bahasan, dan tafsirannya.”
“Ngomong apa kamu?”
“Siap, salah. Puisi adalah karya dengan dominasi kata-kata indah.”
Begitulah puisi. Setiap orang memiliki cara dalam membaca maupun menikmatinya. Jenis sayuran muncul lewat puisi, berikat langsung dengan garam. Bumbu yang kerap menjadi bandingan olahan masa kini dengan masa lalu. Kakek-nenek kita kerap mengatakan jika di masa kanak-kanak mereka, nasi dan garam adalah makanan yang lezat. Kiwari, kita memahaminya sebagai perjuangan, sebagaimana diksi yang menutup puisi yang ditulis A.
Membaca puisi di blog Leluasa selalu dipertemukan dengan puisi yang lugas. Bahasa dan maknanya tumbuh sebagai kesatuan yang literal maupun kultural. Karenanya puisi akan terus tumbuh. Baik dari para penyair maupun orang-orang di sekitar kita. Mungkin puisi adalah rumah bahasa, yang seringkali kita tinggal ketika dewasa. Meski begitu, dalam keadaan tertentu puisi tiba-tiba hadir begitu saja. Mencari kita, yang melupa.
Jika puisi adalah rumah bahasa, mungkin pula ada rumah lain yang bisa dibicarakan. Pratama Wasisto Aji mengurai panjang lebar perihal rumah lewat Sebuah Nasihat dari Romi & The Jahats untuk Mengarungi Bahtera Rumah Tangga (25/3). Rumah, lewat tulisan Aji menjelma menjadi media rekam emosi, ikatan keluarga, ekonomi, dan hal-hal lainnya.
Selama ini, rumah dianggap sebagai tempat untuk pulang belaka. Aji membawa pandangan lain bahwa rumah ialah tempat di mana nasihat hadir. Rumah bukan sekadar bangunan yang selama ini kita sebut rumah dalam bahasa. Aji mendedah bahwa rumah sebenarnya berikat dengan masing-masing individu, termasuk dengan segala turunan pemaknaannya.
Penggambaran rumah dengan berangkat dari album Romi & The Jahats, mengantar Aji pada pertanyaan-pertanyaan tentang rumah. Apakah benar sebagai tempat untuk kembali? Atau, tempat pelbagai macam kompromi terjadi? Atau, tempat di mana kebebasan justru terbatas? Aji menaruh pertanyaan sebagai refleksi.
“Rumah adalah tempat refleksi?”
“Siap salah, Ndan. Rumah adalah tempat untuk pulang.”
Bahasa memang memberi ruang bagi penggunanya untuk membebaskan nilainya. Karena itu, para ahli bahasa menyebut bahwa bahasa itu arbitrer. Seraya membaca tulisan Aji, kita diajak bertanya kembali menyangkut rumah. Tempat yang kadung kita tempati tanpa pernah mempertanyakannya itu. Lantas, bagaimana sebenarnya memahami rumah itu? Aji berangkat dari album milik Romi & The Jahats, sementara itu di tempat lain pasti ada pemahaman liyan.
Lewat pelbagai jenis tulisan yang ditawarkan Leluasa di bulan Maret 2025, bahasa yang kita miliki bersama memiliki bermacam kegunaan. Bayangkan jika bahasa yang kita miliki hanya memiliki satu fungsi: mengatur. Tentu, hal itu akan menimbulkan kejumudan. Dunia terasa aneh. Tak ada lagi keluwesan.
Baca juga: Catatan editorial Leluasa Kacamata
Dukung kami klik di sini.
Posting Komentar untuk "Kendali: Sebelum Semuanya Berubah Beku"
Posting Komentar