Musik Hardcore dari Kacamata Orang Awam
Beberapa kali ikut event gigs atau acara musik hardcore, terkadang suasananya lebih terasa kayak kumpul keluarga besar ketimbang konser mainstream yang penuh batasan dan aturan. -Novia Eka Mardani
HARDCORE DI MATA AWAM
Sebagai orang awam, pertama kali mendengar kata hardcore, langsung kebayang adalah musik yang keras, penuh distorsi dengan tempo yang berat, vokalnya teriak-teriak. Orang yang masih awam bahkan asing dengan musik hardcore, kesan pertama saya terhadap genre ini: kurang bisa menikmati. Namun sekarang hardcore seakan telah menjadi trend. Melihat di sosial media, saat ini banyak ditemui musik hardcore dan juga estetika visualnya yang ikut naik level sehingga musik hardcore tidak asing lagi di telinga—setidaknya di sekitar saya. Banyak band hardcore sekarang tampil dengan gaya visual yang unik, mulai dari cover art, fashion gombrong—starterpack anak hardcore skena, dan trend-trend lainnya yang mengatasnamakan hardcore. Seiring berjalannya waktu dengan keseharian pasangan saya yang sering memutar lagu-lagu hardcore, ia sering mengajakku ke event gigs lokal maupun komunitas. Skena di Kabupaten Sukoharjo, banyak anak muda yang bikin acara sendiri, membuka ruang kolektif, membuat rilisan fisik, sampai merch handmade. Spirit do-it-yourself (DIY) masih terasa banget, hal ini membuat hardcore tetap terasa real dan akar rumput. Meskipun akarnya tetap keras dan penuh semangat perlawanan, sekarang hardcore berevolusi jadi sesuatu yang bisa menyentuh banyak lapisan, dari skena underground sampai panggung-panggung festival.
Sebelumnya saya merasa hanya bisa menikmati aransemennya saja, musik dengan distorsi keras dan tempo yang berat, menggugah rasa penasaranku untuk mengulik makna dari lagu yang dibawakan. Ternyata pesan-pesan yang dibawakan tentang kehidupan sosial, ketidakadilan, penolakan kapitalisme, isu lingkungan, dan hak asasi. Tapi yang menarik, sekarang banyak lirik-lirik yang lebih personal seperti: soal kesehatan mental, trauma, identitas diri, atau rasa keterasingan. Jadi lebih manusiawi, lebih relate buat pendengar zaman sekarang yang mungkin lagi bergelut sama tekanan hidup modern. Setelah sedikit memahami tentang hardcore ternyata bukan sekedar genre musik yang asal teriak, tapi bentuk ekspresi dari rasa frustasi, ketidakpuasan, bahkan kepedulian terhadap isu-isu sosial yang sering kali luput dari perhatian. Para musisinya banyak yang membahas soal ketidakadilan, perjuangan hidup, penindasan, dan pentingnya kebebasan berekspresi. Mereka menyampaikannya dengan cara yang lugas, keras, dan tanpa sensor—karena mereka ingin didengar, bukan dipoles supaya enak di telinga.
Hardcore identik dengan cara mengekspresikan diri yang begitu agresif, di mana para penonton moshpit secara brutal. Kali pertama liat event gigs, reaksiku cuma satu: do ngopo to? padu? karena keadaan terlihat sangat chaos dan seperti sekelompok orang saling dorong, tabrakan, ada yang jatuh, teriak-teriak, semuanya kacau. Setelah aku tanya ke pasanganku yang hardcore abiez, ternyata moshpit yang terlihat seperti melukai itu bagian dari pengekspresian diri penonton untuk menikmati musik yang dibawakan. Iya, bentuk pelampiasan energi dan emosi yang nggak bisa disalurin lewat duduk manis atau goyang gemulai.
Yang bikin saya makin kagum adalah bagaimana komunitas hardcore punya nilai-nilai yang cukup kuat dan terjaga, seperti semangat mandiri alias do-it-yourself (DIY), solidaritas yang tinggi antar anggota, serta kesetaraan antara musisi dan pendengar. Nggak ada jarak yang terlalu tinggi antara “panggung” dan “penonton.” Semua dianggap bagian dari satu kesatuan yang saling menghormati. Bahkan beberapa kali ikut event gigs atau acara musik hardcore, terkadang suasananya lebih terasa kayak kumpul keluarga besar ketimbang konser mainstream yang penuh batasan dan aturan. Ada kehangatan di balik kerasnya suara, dan itu yang bikin musik ini terasa “hidup” dan jujur. Nggak terlalu peduli soal tampilan atau popularitas—yang penting adalah isi pesan dan cara dalam menyampaikannya. Itu nilai yang menurut saya penting, apalagi di zaman sekarang di mana segala hal sering dibungkus manis demi tampak menarik di permukaan.
Sebagai orang bergenre musik dangdut, saya akui butuh waktu untuk bisa benar-benar memahami dan menikmati musik hardcore. Tapi begitu kita mulai ngerti cara kerjanya dan pesan yang dibawa, ternyata hardcore punya kedalaman yang mungkin lebih jujur daripada banyak genre musik lainnya. Ini bukan musik buat semua orang, dan nggak apa-apa. Tapi buat mereka yang cocok, hardcore bisa jadi tempat perlawanan, tempat berbagi, bahkan tempat menyembuhkan diri lewat energi dan solidaritas. Jadi, dari kacamata saya, hardcore itu bukan sekadar suara yang kenceng dan penuh amarah, tapi cerminan dari perasaan manusia yang ingin didengar—dengan cara yang mungkin keras, tapi nyata dan nggak dibuat-buat.
Penulis: Novia Eka Mardani
Editor: A.
3 komentar untuk "Musik Hardcore dari Kacamata Orang Awam"
Posting Komentar