"Menarche" Diantara Persoalan Personal dan Sosial: Lemparan Bola Liar Tentang Isu Gender
Gambar oleh Atisa Syukurandani |
Menginjak dunia
seni rupa kontemporer, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam
persoalan sosio-kultural yang menantang untuk didobrak. Tak jarang kemudian muncul
inisiatif dari para seniman untuk mengangkat tema yang tak hanya menggugah
estetika, tetapi juga membongkar stigma yang selama ini membekap kebebasan
berekspresi. Salah satu contohnya adalah pameran tugas akhir seni rupa grafis
bertajuk Menarche oleh Atisa Syukurandani, yang dengan berani membawa
pengalaman menstruasi pertama perempuan ke ruang dialog publik. Melalui
karya-karya yang mengalir di antara estetika, pengalaman personal, dan
persoalan sosio-kultural, pameran ini merupakan upaya menciptakan ruang aman
bagi perempuan untuk berbicara tentang tubuh mereka—sebuah langkah penting di
tengah norma sosial yang sering kali sesak oleh ketimpangan gender.
Isu mengenai relasi gender kerap menjadi bola liar yang melahirkan pro-kontra, tetapi kemanapun muaranya, upaya melempar bola itu menjadi sangat penting. Dalam perbincangan gender, pengalaman biologis perempuan, seperti menstruasi, sering kali hanya dilihat sebagai "fenomena alamiah" bukan sebagai pengalaman yang sarat makna sosial. Seperti yang diungkapkan oleh para pemikir feminisme postmodern, pengalaman tubuh perempuan tidak bisa dilepaskan dari konstruksi sosial yang melingkupinya. Tubuh perempuan tidak hanya menjadi objek biologis, tetapi juga medan wacana sosial yang terus direproduksi melalui budaya, norma, dan mitos.
Foto: Munanda Okki S. |
Bertempat di kampus ISI Solo Fakultas Seni Rupa dan
Desain pada Kamis, 02 Januari 2025, pameran tugas akhir Menarche menyuguhkan
beragam karya seni grafis yang menarik untuk disimak secara perlahan, mengikuti
jalan wacana sang seniman. Terdapat sejumlah 17 karya dengan komposisi 4 kain
besar (kain mori kusam) dan 13 figura (kertas) yang dibuat dengan teknik cetak
saring. Pameran ini membawa kita mengenali pengalaman ketubuhan perempuan
dengan berbagai macam proses pertumbuhan biologis. Dengan teknik cetak saring /
silkscreen yang menghadirkan detail samar, karya-karya ini seolah menjadi
metafora bagi pengalaman tubuh yang selama ini tersembunyi dari pengetahuan
publik. Warna merah dan hitam memberikan
kesan dramatis, antara keterpurukan dan kebangkitan yang samar, membaur dan
melebur begitu padu. Tubuh-tubuh yang digambarkan di atas kain mori kusam
membuatnya semakin harmonis. Jika saja kain yang digunakan berwarna putih
bersih mungkin rasanya menjadi kontras yang membuat objek visual karya mati
atau pucat. Dalam karya-karyanya terdapat pula visual sebagai simbol siklus
menstruasi perempuan.
Sebagaimana
diungkapkan Judith Butler, seorang pemikir feminisme postmodern, tubuh adalah
konstruksi sosial yang terus diproduksi oleh bahasa dan norma. Dalam konteks
ini, pengalaman menstruasi perempuan sering kali dikonstruksi sebagai sesuatu
yang "tabu" atau "tidak sopan" untuk dibicarakan. Hal ini
menciptakan jarak dan kesalahpahaman antara gender, karena pengalaman tubuh
perempuan tidak diakui sebagai bagian penting dari pengetahuan sosial.
Dalam
karya-karyanya, visualisasi tubuh perempuan dengan posisi jatuh, beranjak,
terikat, terbaring, dan berdiri menggambarkan narasi antara keterpurukan dan
kebangkitan. Ketika tubuh perempuan digambarkan berkembang dari anak-anak
hingga dewasa, terlihat bahwa menstruasi tidak hanya menjadi titik biologis,
tetapi juga tonggak sosial yang membentuk identitas perempuan.
Namun, salah satu kelemahan pameran ini adalah kurangnya eksplorasi pada mitos-mitos yang ingin didobrak. Dalam pandangan feminisme postmodern, mitos-mitos tentang menstruasi adalah bagian dari narasi besar yang memperkuat patriarki. Sebagai contoh, mitos tentang "perempuan yang tidak suci" selama menstruasi adalah bentuk kontrol sosial yang membatasi perempuan untuk terlibat dalam ruang publik. Menghadirkan elemen ini dalam pameran akan memberikan konteks yang lebih luas bagi penonton untuk memahami tekanan sosial yang dihadapi perempuan.
Foto: Munanda Okki S. |
Di sisi lain,
pengalaman menstruasi yang hanya berpusat pada pengalaman personal seniman
membuat pesan pameran ini terasa kurang universal. Dalam kerangka feminisme
postmodern, penting untuk meruntuhkan narasi tunggal dan menghadirkan
pluralitas pengalaman. Artinya, menstruasi tidak hanya dilihat dari sudut
pandang biologis, tetapi juga dari bagaimana pengalaman ini dimaknai oleh
berbagai kelompok perempuan dari latar budaya, kelas sosial, atau bahkan
orientasi seksual yang berbeda.
Meskipun banyak
argumen yang menyatakan bahwa diskusi gender harus beralih dari fokus biologis
ke konstruksi sosial, faktor biologis tetap menjadi dasar penting. Sebagaimana
dinyatakan Butler, konstruksi sosial tidak terjadi di ruang hampa: ia selalu
berakar pada interaksi tubuh dan pengalaman material. Oleh karena itu, karya
seni seperti Menarche berpotensi menjadi jembatan penting untuk membawa
pengalaman biologis perempuan ke dalam ranah dialog sosial yang lebih
inklusif.
Dengan visual yang halus namun penuh makna, pameran ini berhasil membuka ruang untuk diskusi yang lebih luas tentang relasi gender. Namun, upaya ini masih membutuhkan penguatan pada narasi dan konteks sosial agar pesan yang ingin disampaikan benar-benar mampu melampaui batas pengalaman personal dan menjangkau wacana publik. Ekspresi visual yang hadir memang memikat, tetapi menjadi tanggung jawab kita untuk menjadikannya lebih dari sekadar estetika, melainkan juga sebagai medium perubahan sosial yang nyata. Bagaimanapun sampai munculnya tulisan ini, pameran Tugas Akhir bertajuk Menarche oleh Atisa Syukurandai dapat memantik diskusi yang lebih luas dari suatu karya seni. Justru pro kontra yang hadirlah yang membuat karya seni semakin hidup. Lebih panjang umurnya, tidak hanya berhenti di tatapan mata, tidak berhenti di galeri, tidak berhenti di suatu pameran temporer. Keberanian mengangkat tema ini adalah sebentuk upaya yang dilakukan untuk membawa pengalaman personal ke ruang publik, mewakili banyak keresahan individu dan mengajak publik memperhatikan hal-hal fundamental yang sering luput dalam sudut pandang analisis sosial. Semangat dalam karya ini harus menjalar baik di ruang publik terkhusus ruang kesenian dan akademik. Tabiiik!!!
Editor: A.
Posting Komentar untuk ""Menarche" Diantara Persoalan Personal dan Sosial: Lemparan Bola Liar Tentang Isu Gender"
Posting Komentar