Subordinasi Perempuan, Wujud Ketimpangan Gender
Gambar: Theo Traperta |
Jeritan
Sunyi di Balik Ketimpangan
Apa yang kawan-kawan ketahui tentang istilah ketimpangan gender atau subordinasi perempuan? Yapsss, kurang lebih seperti itu. Sebuah realitas pahit yang telah mengakar dalam tatanan sosial selama berabad-abad, kondisi di mana perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dan keterbatasan akses terhadap sumber daya dibanding laki-laki. Meskipun di antara perempuan dan laki-laki tentunya terdapat pembeda yang bersifat biologis, namun selain itu terdapat pula bentukan kultur yang dikonstruksikan dan disosialisasikan turun-temurun dalam budaya masyarakat. Nahh, pada akhirnya hal tersebut tertanam dan menjadi rangkaian tuntutan sosial diantaranya tentang kepantasan berperilaku, peran, hak dan kekuasaan. Hal ini menjadikan ketidakadilan sistematik yang membelenggu potensi perempuan dan menghambat perkembangan masyarakat secara keseluruhan.
Akar dari subordinasi perempuan sangatlah kompleks dan berlapis. Norma-norma sosial dan budaya patriarkis telah membatasi peran perempuan hanya pada ranah domestik. Strereotip gender yang kaku ini telah membentuk pandangan masyarakat terhadap perempuan, sehingga seringkali diremehkan dan dianggap tidak setara dengan laki-laki. Bayangkan saja, seperti ada tembok besar yang memisahkan antara perempuan dan laki-laki. Tembok itu dibangun dari batu bata yang terdiri dari berbagai macam aturan, kebiasaan, dan pandangan masyarakat yang sudah ada sejak lama. Batu bata itu bisa berupa anggapan bahwa perempuan itu lemah, harus mengurus rumah tangga, atau tidak punya kemampuan untuk memimpin.
Kenapa sih bisa terjadi seperti itu? Ada beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan gender. Salah satunya adalah norma sosial dan budaya. Kita sering mendengar ungkapan "laki-laki adalah pemimpin" atau "perempuan harus bisa memasak". Ungkapan-ungkapan seperti ini membentuk pandangan kita tentang peran gender sejak kecil dan sulit untuk diubah. Nahh, hal ini adalah bentuk dari patriarki.
Patriarki seperti benang halus yang menenun pola kehidupan, dan seringkali tidak banyak disadari. Dalam sistem ini, nilai-nilai maskulin lebih diutamakan dan dianggap lebih berharga dibandingkan nilai-nilai feminin. Akibatnya, perempuan seringkali terpinggirkan dan mengalami ketidakadilan. Stereotipe gender juga memperkuat sistem patriarki lohh. Kekerasan terhadap perempuan adalah bentuk paling ekstrem dari patriarki. Kekerasan fisik, seksual, dan psikologis yang dialami perempuan seringkali dipicu oleh pandangan bahwa laki-laki memiliki hak untuk mengontrol perempuan.
Untuk memahami kompleksitas Ketimpangan atau ketidaksetaraan bisa dilihat pada teori interseksi yang mengkaji berbagai bentuk penindasan saling terikat dan saling memperkuat. Konsep ini dikembangkan oleh seorang sosiolog feminis Afrika-Amerika yang bernama Patricia Hill Collins yang menekankan pada tumpang tindih berbagai bentuk penindasan, seperti gender, ras, dan kelas.
Teks: Novia Eka Mardani, Mahasiswa Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo.
Editor: A.
4 komentar untuk "Subordinasi Perempuan, Wujud Ketimpangan Gender"
Posting Komentar