Sebagai yang Merasa Awam dalam Seni Pertunjukan: Curahan Hati Penonton Teater

Gambar diolah dari Canva

Orang-orang bilang, Kota Solo adalah kota yang kental dengan budaya seninya. Keidentikan seni ini masuk akal karena adanya Taman Budaya Jawa Tengah dan Kampus Seni di dalamnya, juga dengan program-program pemerintah yang sering digelar, seperti event gamelan, seni tari, dan beberapa festival seni lainnya. Tetapi, saya jadi merasa sangat jauh dari jangkauan Kota Solo: yang di mana tempat tinggal saya jika ditempuh dengan motor memakan waktu sekitar 20 menit-an untuk sampai ke pusat kota, karena saya tidak tahu apa itu seni, terlebih seni yang sering dibicarakan sebagai salah satu simbol Kota Solo.

Satu waktu, saya mendapat ajakan salah seorang kawan untuk menonton sebuah pertunjukan teater. Karena kepalang gabut, ajakan ini menjadi sangat menarik bagi saya. Sesuai dengan yang ada dalam bayangan saya, pertunjukan teater ini berlangsung di Gedung Teater dengan naskah yang humoris dan komedi. Seru, itu kesan yang saya dapatkan setelah menonton pertunjukan teater tersebut untuk kali pertama.

Di lain kesempatan, saya mendapat ajakan kembali untuk menonton pertunjukan teater. Karena kesan saya menonton teater pertama kali begitu seru, saya menjadi lebih bersemangat untuk menonton pertunjukan-pertunjukan lainnya. Berangkatlah saya dengan hati yang gembira, bersiap ada kejutan apa yang akan disuguhkan dalam pementasan nantinya. Tetapi, saya menemukan banyak hal yang berbeda dalam pengalaman kedua saya menonton pertunjukan ini. Pertunjukannya tidak digelar dalam Gedung Teater, melainkan berlangsung di sebuah gedung Monumen Pers Nasional. Bisa ya? itu yang muncul dalam benak saya ketika tiba di lokasi pertunjukan. Dengan berbagai tanda-tanda yang diberikan di beberapa titik lokasi menimbulkan teka-teki bagi saya, membuat saya semakin bingung. Sebenarnya apa yang sedang dan akan para penampil suguhkan untuk kami. Saya semakin menanti-nanti. Berjalannya waktu, pertunjukan teater itu berakhir. Saya tidak mengerti di mana bagian mereka menampilkan pertunjukan teaternya, tiba-tiba selesai begitu saja.

Kok ngga ada panggung-nya? Ini naskahnya apa? Pemerannya juga meranin apa ya?
Setelahnya, saya pulang dengan perasaan yang biasa-biasa saja. Yaaa, seperti habis main saja dari monumen pers yang ada di kota ini. Tidak terjadi apa-apa, cuma main tok ke monumen. Ada satu hal yang saya ingat, yang baru saya sadari jauh setelah pementasan berakhir, bahwa pementasan di Monumen Pers itu menceritakan kisah seorang perempuan yang bernama Siti Rukiyah. Nama itu pun saya dapatkan karena saya baca di papan pengumuman Monumen Pers Nasional.

***

Setelah pengalaman-pengalaman itu, saya menjadi berpikir bagaimana seharusnya seni itu ditampilkan atau disampaikan. Dari kedua pengalaman saya sebagai penonton pertunjukan seni, jaraknya di antara keduanya begitu jauh: dalam memahami dan meninggalkan kesan untuk saya. Sebagai awam, saya paham bahwa mungkin nilai-nilai estetika memang memerlukan kemampuan intelektual yang tinggi. Tetapi dalam hal menyampaikan pesan, bukankah mungkin seharusnya akan lebih sederhana apabila pertunjukan teater ini mudah dipahami oleh orang awam? Saya malah merasa begitu jauh dari yang katanya ‘pesan’ untuk audiens. Apa sebetulnya yang lebih benar: pemeran mengikuti selera penonton, atau mungkin sebaliknya? Seperti kata-kata yang dijadikan sebagai tajuk dalam salah satu diskusi dari kelompok teater Tilik Sarira (Solo) yang saya datangi, katanya apakah makin ga ngerti, makin seni?. Apa itu kalimat yang dianut oleh para pemeran ini? Bukankah keberhasilan dari sebuah pementasan adalah tersampaikannya pesan yang terkandung kepada penontonnya? Apa sebenarnya esensi pertunjukan seni itu sendiri bagi para pemerannya? Yang saya pelajari dalam pelajaran seni budaya, tujuan seni adalah untuk hiburan, tempat berekspresi dan sebagai media penyampaian gagasan, wacana, atau pesan. 

Mungkin perlu adanya evaluasi terhadap bentuk penyajian seni dan segmentasi penonton yang terdekat. Apabila isu yang sedang diangkat dalam pementasan sangat urgensi untuk disebarluaskan, dalam penyampaiannya seharusnya lebih merata. Bukan hanya untuk yang ngerti-ngerti aja. Kesannya, pementasan-pementasan ini menjadi begitu eksklusif. Padahal ajakannya dalam pamflet untuk ‘umum’. Umum seperti apa yang dimaksud, apabila orang awam yang datang tidak mengerti apa yang sedang dimainkan dalam pementasan. Pertunjukan bukan hanya milik penulis naskah, sutradara atau produser, pemain, tetapi ada visi dan kemauan yang perlu dihayati bersama oleh semua yang terlibat: termasuk penonton yang hadir dalam pertunjukan.

***

Pertunjukan seni yang berhasil, bagi saya adalah bukan sekedar tidak melakukan kesalahan selama berlangsungnya pertunjukan yang menandakan jerih payah latihannya terbayarkan, apalagi hanya terliput oleh media sebagai press release acara. Tetapi pertunjukan seni dapat memberikan kesan dan pantikan sebagai oleh-oleh yang dapat digunakan bagi audiens yang menikmatinya dan tentu syariat wajibnya adalah “harus menghibur!”. Begitupun dengan perlunya pemahaman yang mendalam bagi para pementas mengenai isu atau permasalahan yang dimainkan, membuat pesan bahkan euphoria dalam pementasan memberikan sentuhan yang lain pada penonton. Hal ini menandakan pesan sebagai output dari pertunjukan berhasil tersampaikan kepada penonton dengan begitu baik.


Teks: Laili R. Aisy
Editor: A.

Posting Komentar untuk "Sebagai yang Merasa Awam dalam Seni Pertunjukan: Curahan Hati Penonton Teater"