Sesuatu di Balik Ujug-ujug Mak Jegagigs Vol. 2
Jampeace (The Suse) | Photo: Hanry Cahyanto |
Sesuatu di Balik Ujug-ujug Mak Jegagigs
Vol. 2
Usai menonton film Miracle In Cell No.7, saya ngopi dengan Dian—The
Suse, membicarakan persoalan yang tak terarah, alias ke mana-mana. Ujung obrolan
kami terjadi di parkiran saat berpamitan pulang.
“Sampai berjumpa lagi. Sekarang berbeda dengan waktu yang sudah
berlalu,” ucap Dian berbahasa Jawa, sembari menyalakan mesin motornya.
Apa yang diucapkan Dian terus terngiang di kepala saya. Memori saat hampir
setiap hari bersinggungan dengan kawan-kawan seolah hidup kembali. Entah akan
dianggap mendramatisir atau tidak, tapi hal itu memang terjadi. Sebab saya tak
tahu maksud: “Waktu yang sudah berlalu.”
***
Gigs dadakan, Ujug-ujug Mak Jegagigs kembali digelar oleh
kawan-kawan. Jika di tahun 2021, parkir barat Univet menjadi saksi gelaran
pertama, Vol. 2 bergeser tujuh puluh meter sedikit lebih jauh ke timur. Di
teras Auditorium Univet, gigs yang diorganisir beberapa kolektif tersebut
kembali dilaksanakan.
Menilik perjalanan skena di Sukoharjo yang saya ikuti dalam kurun
waktu lima tahun terakhir, sepertinya memang kawan-kawan ‘suka’ memilih tempat
yang aneh-aneh. Berdasar cerita dan perjalanan empiris, tempat seperti: dapur,
lobi kantor, bahkan teras toko baju pernah dijadikan medan ekspresi dan promosi
karya. Padahal, di sisi lain, mereka saya kira sudah seharusnya mampu menempati
atau mendapatkan ruang lebih baik.
Tetapi, semua kembali kepada pilihan masing-masing, termasuk ucapan
vokalis The Suse di hari itu, Jampes, yang berteriak bahwa ruang apa pun tidak seharusnya
membatasi siapa pun dalam berkarya. Termasuk salah satunya adalah Ujug-ujug
Mak Jegagis, di bawah gerimis, angin dingin, crowd tetap penuh,
liar, dan panas. Sound yang terasa sangat mentah dan noise, berhasil
memantik siapa pun yang hadir tetap meliar.
Louis | Photo: Hanry Cahyanto |
Speck Zial, Doze Club, The Gunarto, Trackout, Sprayer, Ganave, Rusun Chaos, The Suse, hingga Louis merupakan para penampil yang membuat bergetar kaca Auditorium Univet. Sementara, tiada jarak antara band dan penonton, semua orang bebas menaiki panggung asal tidak mencuri maupun merusak alat.
Semua berjalan sesuai rencana, selesai tanpa dibubarkan oleh mereka yang
terbiasa membubarkan acara. Namun, sehari setelah acara, saya dihubungi Om Bagz—Sprayer,
bahwa efek gitar merek Boss warna oranye hilang. Pada tulisan ini, silakan bagi
yang saat ini membawanya tolong dikembalikan. Regane larang cah!
Sementara, di gigs tersebut, saya mendapati sedikit pengertian dari
ungkapan Dian. Di mana, bagi saya, yang tidak lagi bermukim di Sukoharjo, gigs
seperti Ujug-ujug Mak Jegagis atau lainnya: Saling Pandang, Keliling
Kabupaten, dll., merupakan ruang paling sengaja bersua kawan-kawan.
Mungkin berjabat tangan dengan kawan sepintas terlihat biasa saja,
tetapi ada sesuatu yang tak tergambar di masing-masing kepala saat melakukannya.
Termasuk saya, di hari itu, ketika melakukannya saya terbayang soal jarak. Yang
akhir-akhir ini ternyata hal itu memiliki kecenderungan pengertian terhadap dua
arah: baik atau buruk.
Terlepas dari beragamnya definisi jarak, sepertinya kawan-kawan di Sukoharjo
memiliki cara tersendiri untuk memanggil. Terlebih, mereka melakukannya begitu
halus meski terkadang juga sangat liar.
So, like one of the song from The Suse: Walk of the Unknown.
Rudi Agus Hartanto,
putra daerah Mojogedang.
Sprayer | Photo: Hanry Cahyanto |
Posting Komentar untuk "Sesuatu di Balik Ujug-ujug Mak Jegagigs Vol. 2"
Posting Komentar