MMT War: Kritik, Satire, dan Harapan

Foto: Munanda Okki S.

"Pameran ini menunjukkan bahwa seni memiliki fungsi ganda: selain menghadirkan estetika, juga menjadi media untuk menyampaikan keresahan dan aspirasi. Namun, seni tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan ruang untuk tumbuh, berkembang, dan berdialog"
-Munanda Okki Saputro

MMT War: Kritik, Satire, dan Harapan.
Di depan Gedung 6 kampus 2 ISI Surakarta, malam itu terasa berbeda. Belasan gambar berbau kritik dan satire menghiasi dinding, menjuntai membentuk kubus yang menaungi pementasan musik di bawahnya. Lampu remang memperkuat kesan liar dari gambar-gambar yang dipajang, sementara bunyi bass gitar dan drum menambah sentuhan kebangalan yang memikat. Suasana magis ini adalah pembukaan dari acara bertajuk MMT War sebuah pameran yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Seni Murni pada Jumat, 20 Desember 2024.

Acara ini merupakan pembukaan dari rangkaian pameran tiga hari berturut-turut, yang semua karya digambar diatas  bahan dasar MMT (banner cetak) bekas. Sementara itu, sehari sebelumnya, kabar pembatalan pameran tunggal “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional Indonesia menyebar luas, menambah perbincangan hangat di kalangan seniman. Pembatalan mendadak tersebut disinyalir terjadi karena perselisihan kuratorial, yang mengingatkan kita bahwa seni selalu menjadi ruang yang dipertaruhkan, baik secara simbolis maupun politis. Ruang bebas ekspresi dalam ranah seni kembali patut dipertanyakan, meski demikian ada banyak alternatif yang dapat diraih. Tempat-tempat yang dianggap tidak terlalu prestis terkadang merupakan celah lebar untuk menggalang kekuatan dan penyadaran terkait wacana sosial politik dalam kesenian.

MMT War menghadirkan sisi lain dari cerita ini. Berbagai gambar yang dipajang adalah hasil kerja kolektif mahasiswa dari setiap angkatan, dengan ketentuan minimal empat karya untuk satu angkatan. Kritik yang disampaikan mayoritas bersifat internal, menyoroti kebijakan kampus dan nilai-nilai yang dirasa membatasi kreativitas mahasiswa. “Bentuk karya yang harus dekat dengan personal dan pengalaman mahasiswa sangat membatasi eksplorasi. Seharusnya seni rupa lebih menarik jika didasarkan pada riset atau melibatkan disiplin ilmu lain, agar memiliki nilai dan wacana yang lebih tajam” ujar Jabon, ketua pelaksana, pada malam pembukaan.

Kegiatan ini tidak hanya menawarkan kritik tetapi juga menghidupkan kembali tradisi yang sempat terhenti akibat pandemi. Pada tahun 2019, konsep serupa pernah diselenggarakan oleh mahasiswa dengan nama “Kolektif Jamming” berupa menggambar bersama dan pameran liar di area kampus. Empat tahun berselang, HMJ Seni Murni membangkitkan konsep ini dengan nuansa yang lebih terorganisir.

Namun, ada catatan penting yang perlu diperhatikan. Meskipun konsep acara ini memiliki potensi besar, pelaksanaannya masih menghadapi beberapa kendala. Salah satunya adalah kurangnya diskusi interdisipliner yang dapat memperkaya eksplorasi tema dan isu dalam karya-karya yang dipamerkan. Sebagian besar karya mengarah pada kritik internal, dengan hanya satu-dua karya yang mengangkat persoalan sosial dan politik negara secara lebih luas. Diskusi semacam ini dapat menjadi katalis untuk mendorong mahasiswa berpikir kritis tidak hanya terhadap lingkungan kampus tetapi juga terhadap dinamika sosial di luar.

Selain itu, pemilihan waktu pelaksanaan di akhir pekan – Jumat sore hingga Minggu – menjadi tantangan tersendiri. Aktivitas kampus yang minim di hari-hari tersebut membuat acara kurang mendapatkan perhatian optimal, baik dari kalangan mahasiswa maupun publik yang lebih luas. Padahal, pameran seperti ini memiliki potensi besar untuk menjadi ruang dialog yang produktif antara mahasiswa, institusi, dan masyarakat.

Di sisi lain, penggunaan MMT bekas sebagai media menjadi sorotan menarik. Bahan ini, yang biasanya hanya dianggap sebagai sampah tanpa nilai guna, diolah kembali menjadi medium seni yang mengekspresikan kritik dan keresahan. Dalam konteks ini, MMT War tidak hanya berfungsi sebagai pameran seni tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya konsumtif dan ketidakpedulian terhadap barang usai-pakai. Selain itu muatan bahwa kritik dan protes yang jarang digubris ini seolah semakin dipertegas. Seperti yang dikatakan W.S. Rendra, “Protes-protes terpendam, terhimpit di bawah tilam” akhirnya menemukan medium baru untuk berbicara. Sampah yang berbicara !!!

Pameran ini menunjukkan bahwa seni memiliki fungsi ganda: selain menghadirkan estetika, juga menjadi media untuk menyampaikan keresahan dan aspirasi. Namun, seni tidak dapat berdiri sendiri. Ia membutuhkan ruang untuk tumbuh, berkembang, dan berdialog. Oleh karena itu, pameran seperti MMT War perlu terus didorong untuk menjadi lebih dari sekadar ajang pameran visual. Dengan pendekatan yang lebih komprehensif, seperti diskusi tematik dan pelibatan disiplin ilmu lain, acara semacam ini dapat menjadi oase intelektual yang memperkuat kesadaran kritis mahasiswa seni.

Apresiasi patut diberikan kepada HMJ Seni Murni yang berhasil menghidupkan kembali tradisi kolektif ini, meskipun dengan keterbatasan. Ke depan, MMT War dapat menjadi agenda rutin yang tidak hanya menjadi ajang ekspresi seni, tetapi juga wadah diskusi dan refleksi bagi mahasiswa, seniman, dan masyarakat. Sebab, pada akhirnya, seni yang hidup adalah seni yang tidak hanya indah untuk dilihat, tetapi juga berbicara tentang kenyataan yang dihadapi.


Teks: Munanda Okki Saputro
Editor: A.

1 komentar untuk "MMT War: Kritik, Satire, dan Harapan"

Anonim 30 Desember, 2024 18:33 Hapus Komentar
Keren