Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Apakah Sudah Saatnya Rakyat Membangun Badan Keamanan Mandiri? | Nur Cholis Al Qodri

Gambar: A

Saat kita terus bergantung pada institusi kepolisian untuk menjaga keamanan kita, kita bergerak menuju ketergantungan yang berpotensi merugikan. Kepercayaan masyarakat pada kepolisian? Mungkin sama seperti menyembunyikan rasa lapar dengan menatap foto makanan. Kepercayaan publik adalah fondasi utama dari sistem keamanan. Ketika rakyat kehilangan kepercayaan pada institusi yang seharusnya melindungi mereka, institusi itu sendiri bisa menjadi ancaman terbesar terhadap keamanan. Salah satu poin dari tugas kepolisian dalam Undang-undang NRI No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) secara tegas menyatakan bahwa kepolisian diberikan amanah oleh negara untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Sebagai rakyat. Lumrah rasanya untuk merasa kecewa ketika institusi keamanan yang dibentuk negara untuk melindungi kepentingan publik tampak gagal dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Stigma yang merajalela dalam masyarakat, seperti "Polisi hanya akan bertindak jika ada uang di baliknya" atau seruan sosial media "No Viral No Justice" mencerminkan rasa kecewa terhadap kepolisian yang semakin terlihat bermasalah dan tidak mematuhi tugas pokoknya.

Dalam beberapa waktu terakhir, dalam berita media masa yang muncul, kita sering menyaksikan serangkaian peristiwa yang menggambarkan keterpurukan institusi kepolisian di Indonesia. Peristiwa-peristiwa seperti tragedi Kanjuruhan yang merenggut nyawa 135 lebih suporter Arema FC, insiden pelemparan gas air mata di lingkungan penduduk Dago Elos Bandung, penangkapan sewenang-wenang terhadap tiga petani di Pakel, kriminalisasi dan intimidasi terhadap para pemberani yang menentang penggusuran Rempang, Batam, hingga penembakan terhadap warga di Seruyan, semuanya telah menciptakan gambaran yang tak mengenakkan tentang peran dan fungsi kepolisian saat ini.

Tragedi Kanjuruhan, yang menelan korban jiwa 135 lebih, bukan hanya merupakan kegagalan kepolisian dalam menjaga ketertiban di stadion, tetapi juga menciptakan citra yang buruk tentang kemampuan kepolisian dalam menangani kerumunan massa. Pelemparan gas air mata di Dago Elos Bandung membuka kerentanannya institusi ini terhadap penyalahgunaan kekuasaan dalam menegakan ketertiban. Penangkapan sewenang-wenang terhadap petani di Pakel dan kriminalisasi para penentang penggusuran Rempang, Batam, mencuatkan pertanyaan serius tentang “apakah kepolisian masih melindungi hak-hak individu ataukah hanya melindungi kepentingan tertentu?” Lebih merisaukan lagi adalah insiden penembakan di Seruyan yang menimpa warga sipil. Ini mencerminkan betapa jauhnya kepolisian dari prinsip-prinsip etika dan hukum dalam menjaga keamanan masyarakat.

Sementara itu, dalam konteks proyek-proyek ambisius negara yang sedang gencar digarap menuju peralihan kepemimpinan ataupun pemilu 2024 yang seringkali jauh dari konsep keadilan, kita menyaksikan pemberian prioritas terhadap keuntungan kelompok tertentu yang memiliki pengaruh dan kekuasaan. Ini memunculkan pertanyaan tentang “sejauh mana kepolisian terlibat dalam menjaga kepentingan masyarakat? dan sejauh mana mereka menjadi alat bagi kepentingan kelompok tertentu?

Hingga akhirnya, kita perlu berpikir secara kritis dan kreatif tentang reformasi yang mendalam dalam sistem kepolisian. Keadaan semacam ini menimbulkan pertanyaan yang mendalam tentang pemenuhan tugas dan kewajiban institusi kepolisian dalam menjaga keamanan dan memberikan keadilan kepada masyarakat. Hal ini juga menyoroti perlunya reformasi yang serius dalam sistem hukum dan penegakan hukum agar rakyat dapat merasa aman dan percaya bahwa hak-hak mereka dilindungi dengan baik.

Saatnya rakyat dari berbagai elemen seperti mahasiswa, buruh, petani, pelajar harus berani bersikap oposisi, merenungkan sejauh mana kepolisian telah menyimpang dari landasan prinsip-prinsip mendasar yang seharusnya menjadi pijakan dalam berdirinya institusi ini. Keberadaan kepolisian seharusnya bertumpu pada tiga pilar utama, yaitu perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Namun, apa yang kita saksikan dalam peristiwa-peristiwa tersebut justru menunjukkan kesenjangan yang mencolok antara idealisme dan realitas.

Kritik bukan hanya sekadar memotong sayuran dengan pisau tumpul. Kita perlu menyegarkan pandangan kepolisian tentang perlindungan dan keadilan dengan memberikan petunjuk, bukan hanya berharap mereka menemukan jalan keluar dari labirin kebingungan. Reformasi bukan omong kosong, tapi resep penting untuk memperbaiki masakan yang sudah lama basi. Kita harus bertindak sebelum kepolisian lebih kehilangan arah dan bingung sendiri.

Masyarakat harus menjadi pendorong utama reformasi ini. Kita tak bisa hanya berdiam diri dan berharap keajaiban terjadi. Kita perlu mengingatkan kepolisian bahwa mereka bukan bintang reality show yang bisa 'acting' seenaknya. Mereka adalah pelayan masyarakat yang seharusnya berkomitmen kepada nilai-nilai keadilan dan kebenaran.

Sebelum terus menaruh ekspektasi setinggi Menara Eiffel pada kepolisian, mungkin saatnya mereset dan memastikan mereka berada pada jalur yang benar. Kalau tidak, kita mungkin akan melihat lebih banyak drama ketimbang keadilan dalam repertoar mereka. Ini bukan hanya tentang mengkritisi, tetapi juga tentang memberikan solusi dan mendorong perubahan yang lebih baik. Sebab, kepolisian adalah bagian integral dari sistem peradilan yang seharusnya mendukung prinsip-prinsip keadilan, hak asasi manusia, dan kesejahteraan masyarakat. Dan dengan semua peristiwa yang telah disebutkan, saatnya bagi kepolisian untuk kembali kepada prinsip-prinsip dasar yang seharusnya menjadi fondasi dari eksistensinya.



Posting Komentar untuk "Apakah Sudah Saatnya Rakyat Membangun Badan Keamanan Mandiri? | Nur Cholis Al Qodri"