Senja Dalam Prosa: Menenggak Luka, Menghapus Nanar

Gambar Sampul Nir

Album “Nir” Senja Dalam Prosa: Menenggak Luka, Menghapus Nanar.

Terbangun seorang diri di pagi hari, menyadari bahwa semuanya telah berlalu. Yang tersisa hanyalah kepedihan, kehampaan, dan penyesalan atas kesialan yang terus datang bertubi-tubi. Aku, kamu, kita semua pasti pernah merasakan kecemasan yang seolah tak berujung, dihantui oleh rentetan kejadian yang tak henti-hentinya menimpa. Muak, marah, dan benci menjadi bagian dari makanan sehari-hari. Pekerjaan digaji dibawah kata layak, keluarga yang tercerai-berai, hubungan romansa yang kandas, hingga stigma sosial yang terus menghantui—semuanya terasa menyesakkan. Sampai akhirnya, kita menyadari semua telah terjadi, dan pada akhirnya, satu-satunya yang bisa menyelamatkan dirimu adalah dirimu sendiri.

“Then suddenly I slipped my feet and just fall down // from the sky, floating down to the ground // I hope that there is a still someone, that could bring my body up”
- For the Seen nor the Unseen

Senja Dalam Prosa (SDP), unit post-hardcore (sebut saja demikian), akhirnya merilis album kedua secara penuh bertajuk Nir pada 27 Oktober 2024. Melihat diskografi mereka di Spotify, SDP memulai perjalanan musiknya dengan single Kala pada tahun 2013. Tiga tahun kemudian, mereka merilis album pertama berjudul Fana, diikuti single Rebas pada tahun 2019.

Perjalanan mereka berlanjut dengan merilis Mrtyu pada tahun 2022, yang kemudian diikuti oleh single Kenduri dan Lanni pada tahun-tahun berikutnya. Di tahun yang sama dengan perilisan Lanni, berselang hanya empat bulan, SDP resmi meluncurkan album Nir. Album ini memuat Sien, Manikmaya, Sraddha, Nilakandi, termasuk Mrtyu, Kenduri, dan Lanni dengan durasi sekitar 35 menit.

Saya mencoba menelisik transformasi SDP dari single Kala hingga album Nir. Terlihat perubahan yang signifikan dalam gaya lirik dan vokal yang dibawakan oleh Satria Wardhana. Pada single Kala atau album Fana, vokal scream dan aransemen terasa lebih cepat dan agresif. Lirik buatan Ari Ayik di era ini banyak menggambarkan kemuraman dan kemuakan seorang manusia atas rasa sakit yang ia terima.

Namun, ketika memasuki single Rebas, titik pendewasaan SDP mulai terasa. Pembawaan vokal dan aransemen menjadi lebih santai. Lirik Rebas tidak sekedar membahas apa yang terlihat, tetapi juga menyelami kedalaman hati manusia melalui renungan, serta pelarian dari rutinitas. Mengingatkan bahwa hidup adalah sebuah misteri yang layak dijalani.

Foto: Dok. Senja Dalam Prosa

Kelanjutan dari single Rebas ialah album Nir. Menjadi perpanjangan nuansa dari single sebelumnya, namun dengan suasana yang lebih tenang dan damai. Nir menjadi ruang untuk berbicara lebih dalam tentang spiritualitas dan refleksi, menggali makna dari perjalanan dan konflik yang disampaikan pada single atau album sebelumnya. Tampaknya, Ari Ayik ketika menulis lirik sembari merenungi hidup di seperempat malam. Hal ini tercermin dalam track pembuka, Kenduri.

“Setelanjang ini aku berusaha // Kembali padaMu // Maha Cinta // Maha Rindu // Biarkan aku terlelap tenang // Dalam rengkuhMu // Aku tak akan bersuara // Biarkan aku larut dan tenggelam // Menjadi puing // Menjadi tidak ada // Menjadi luas // Menjadi tak berwarna”
-Kenduri

Potongan lirik tersebut menggambarkan kerendahan hati dan pengakuan akan keterbatasan diri manusia dalam menghadapi kekuasaan Ilahi. Frasa "Setelanjang ini aku berusaha kembali padaMu" menunjukan upaya untuk kembali kepada tuhan sejujur-jujurnya tanpa ada kedok meminta sesuatu dengan melepaskan segala kepura-puraan dan ego.

Bagi umat muslim, mungkin pernah mendengar asmaul husna Al-Wadud (Maha Mencintai) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang) karena kedua asmaul husna tersebut relevan dengan track Kenduri yang menggambarkan keadaan seorang hamba kecil nan ringkih meminta pertolongan dalam keadaan tulus kepada Allah SWT yang maha mencintai dan maha penyayang.

Hal ini diperkuat beberapa waktu yang lalu, pada saat saya mewawancari Satria Wardhana perihal maksud dari track Kenduri.

 “Kadang waktu kita lagi sepi, kita mau ngobrol sama siapa sih dan kita ga ada temen untuk ngobrol, kadang orang-orang sudah tidak membicarakan tentang lini kehidupan, karena sudah sibuk dengan kehidupan masing masing, kadang temen temen sudah tidak mengobrol tentang arti cinta, karena sudah sibuk dengan cintanya masing-masing. Lalu dengan siapa lagi kita ngobrol, pada akhirnya kita memohon sambil berdoa kepada tuhan” ucap Satria.


Dalam kebudayan masyarakat Jawa. Kenduri tidak bisa dilepaskan dari sebuah akar sejarah kepercayaan atau kebudayaan yang pernah dianut oleh orang-orang Jawa. Yang maksud kenduri ialah kegiatan kebudayaan untuk memperoleh keselamatan — keberkahan — bagi masyarakat itu sendiri.

“Lelah dan tak ada jalan pulang // Semua meratap, hilang // Bayangmu tetap hidup // Dalam masaku berlahan meredup // Jalan ini, apa yang menjadi keyakinanku // Setiap nafas kuhirup // Setiap pekik jantung // Setiap detik kosong // Tak berarti // Semua meratap, hilang // Bayangmu tetap hidup”
-Mrtyu

Mrtyu merupakan kata dari bahasa Sansekerta yang berarti kematian. Di track ini, penggambaran seseorang dalam kondisi kehilangan dan pergulatan batin ditengah keputus’asaan, serta pencarian makna hidup diantara kegelapan dan kehampaan, seolah-olah semua usaha yang sudah dilakukan berakhir sia-sia. Meski begitu, ada sesuatu yang membuatnya tetap bertahan, yaitu penggalan “Bayangmu tetap hidup” yang memberikan makna bahwa tuhan akan selalu hadir bagi orang-orang yang sedang hilang harapan.

“Bait doa mengusung kata menembus murung gelap dunia // Lelah mencari akal tak pasti, mengubur benih // Bait doa panjatkan makna, runtuhkan langit dimensi // Putar kembali, basuh memori seorang diri”
-Sien

Perjalanan batin seseorang yang sedang berjuang diantara lelahnya pencarian dalam menghadapi kebingungan dalam dirinya. Pada potongan “Bait doa panjatkan makna, runtuhkan langit dimensi”, Sien memberikan makna bahwasanya doa dapat menembus kegelapan dan meruntuhkan batasan yang ada, baik secara jasmani maupun rohani.

Mengutip Musikeras. SDP mengalami kebingungan tatkala mencari seseorang untuk membacakan potongan bait ke 12 karya sastra Jawa kuno ‘Serat Kalatidha’ karangan Raden Ngabehi Rangga Warsita. Terutama agar bait yang dibacakan lebih terasa. Oleh karena itu, pada akhirnya Ibu Satria yang menjadi orang yang membacakan potongan syair tersebut. 

“Sagedā sabar santosā // mati sajroning ngaurip // kalis ing rèh aru-ārā // murkā angkārā sumingkir // tarlèn mêlêng malatsih // sanityasā tyas mamasuh // badharing sapudêndhā // antuk mayar sawatawis // borong anggā suwargā mesi martāyā”
-Manikmaya

Potongan bait yang dibacakan oleh Ibu Satria. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia, banyak maksud dan tafsir yang sudah diartikan. Saya sedikit memahami maksud dari potongan bait tersebut yang membicarakan pentingnya bersabar, kebijaksanaan dalam menyikapi, intropeksi diri dalam menjalani hidup yang penuh ujian, serta menerima resiko atas setiap perbuatan yang dilakukan.

“Mencari bunyi, tersesat di dalam gema // Tersudut gerak, antara maut dan waktu // Aku tersesat dan hilang menuju pusaran batinmu // Api dan samudera hitam telah sama, membawa duka hilang // Mencari bunyi, tersesat”
-Sraddha

Kemudian track Sraddha, frasa “Aku tersesat dan hilang menuju pusaran batinmu” diartikan perjalanan spiritual yang mendalam, di mana seseorang dalam kondisi tersesat menemukan secerah cahaya dari dalam dirinya dan hubungan dengan tuhan nya. Sraddha juga bisa dipahami sebagai sebuah keyakinan mendalam yang menjadi landasan setiap tindakan manusia melalui kombinasi antara pengetahuan dan kepercayaan yang berakar pada pemahaman serta penyerahan diri kepada tuhan. Tak hanya itu, Sraddha tidak hanya berada di ranah spiritual, tetapi juga memengaruhi pada aktivitas keseharian. Karena berangkat dari pengalaman spritual, Sraddha memperkuat hubungan antara dunia batin dan dunia nyata, menciptakan keharmonisasn antara pikiran, tindakan, dan tujuan hidup. 

“Lanni, sunyi mengulai riuh tubuhmu membiru keruh // Lanni, bias bayangmu harum tubuhmu memikat pilu // Lanni, petaka halus menyambut haru pada jasadku // Lanni, berbisik lirih gema membisu seiring sunyi”
-Lanni

Pengulangan kata “Lanni” dalam wawancara dengan Satria menggambarkan sosok yang tidak berwujud—sebuah gambaran abstrak yang menjadi sumber inspirasi dan harapan. Sosok ini diharapkan bisa menjadi pendorong untuk bangkit. Namun kenyataannya, sebagai manusia biasa, kita malah terjatuh semakin dalam. Kita merasa terputus dari sosok tersebut, seolah-olah tak mampu meraihnya atau mendekatkan diri kepadanya. Harapan yang dibangun di sekitar “Lanni” justru menjadi beban yang semakin berat, karena realitas yang kita hadapi tidak selalu sejalan dengan impian atau ideal yang kita genggam.

“Nanarmu merayu // Tenggelam hilang termuram // Menebar asa yang padam // Deting aku menjalar // Di tepi api dan nalar”
-Nikalandi

Terakhir, ada Nikalandi. Track penutup pada album Nir. Menyampaikan perjalanan emosional di ambang keraguan tentang pergulatan batin di antara kemuraman hidup dan pencarian makna.  Lirik ini menyoroti kompleksitas perasaan manusia, dengan narasi yang sarat simbolisme dan melankolia, mengajak pendengar untuk merenungi konflik batin yang sering kali tersembunyi di balik kehidupan sehari-hari.

Satria juga menceritakan proses referensinya ketika membuat lirik pada album Nir melalui proses pengalaman personal kawan-kawan SDP, sesi dialog satu sama lain, dan kemudian akan di olah menjadi sebuah lirik oleh Aria Ayik.

“Biasanya Senja Dalam Prosa ini, mencoba untuk mendeskripsikan tentang sakit hati itu menurut orang lain belum ada artinya, belum ketemu di dalam kamus. Dan kita juga mencoba-coba dengan beberapa kosa kata yang jarang dipakai untuk mendeskripsikan perasaan, agar orang yang membacanya mungkin bisa terwakili” Tutupnya.

Pada akhirnya apa yang disampaikan di album Nir tak terlepas dari apa yang telah dirajut di single atau album sebelumnya. Bahkan, dengan kehadiran album ini, mungkin bisa sedikit menambal apa yang sudah terlubang dari hati kita. Terlebih saat dunia yang kita hidupi sudah menjadi duka dan luka. 

“Waktu terus bergerak, perlahan melipat jarak // Apakah kau hadir, mengusap wajah, menutup mata, rasakan getir ini.”
-Rebas


Tentang Penulis:
Pikri Hafizh A.
Menghabiskan waktu mendengarkan musik tapi ga bisa main alat musik. Mudah ditemui di @kriknaum.




Posting Komentar untuk "Senja Dalam Prosa: Menenggak Luka, Menghapus Nanar"