Paradoks Simbolisme Konstruksi Gender dalam Upaya Kritik Budaya Patriarki
Gambar: Feri Arifianto |
Secara keseluruhan, karya ini menggambarkan bagaimana dekonstruksi yang dilakukan dalam seni tidak selalu menghasilkan perubahan radikal dalam makna atau struktur sosial. Dalam hal ini, upaya untuk membalikkan peran gender tradisional malah mempertegas eksistensi struktur patriarki itu sendiri.
Karya Fotografi “Maskulin – Feminim” Oleh Julie Febiola & Bernando Udayana dalam pameran Solo Photo Festival dengan tema Alternation yang di gelar di Gedung 3 Fakultas Seni Rupa dan Desain kampus ISI Surakarta pada tanggal 25 – 28 November 2024. Karya tersebut disertai dengan teks demikian Sebagian orang-orang masih membesar-besarkan atas peran yang dilakukan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sehari-hari, di mana terdapat persepsi bahwa perempuan dan laki-laki memiliki peran yang berbeda dalam ranah domestik. Dikotomi gender membuat dominasi ruang bagi laki-laki dan justru meminggirkan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Keduanya menjadi hal yang eksklusif.
Di sini peran alternation divisualisasikan dengan ikonitas laki-laki dan perempuan jawa dengan kepala yang bertukar peran. Dimana palu yang seharusnya menjadi ikon maskulinitas menjadi bagian dari tubuh perempuan. Sebaliknya pada objek laki-laki menggunakan spatula sebagai objek yang mewakili dari ikon yang dianggap feminim. Beberapa orang meyakini bahwa pekerjaan domestik lebih lumrah dikerjakan oleh perempuan saja, begitupun sebaliknya. Padahal pekerjaan seperti memasak merupakan keterampilan mendasar manusia, bukan hanya pada perempuan. Teks ini mencoba mengkritik persepsi masyarakat yang membatasi peran gender ke ranah domestik untuk perempuan dan publik untuk laki-laki. Namun, baik simbol yang digunakan maupun pendekatan visualnya justru mempertegas konstruksi gender yang ingin dikritik.
Karya fotografi yang menampilkan sepasang lelaki dan perempuan menggunakan pakaian adat tradisional jawa dengan kepala yang diganti dengan spatula dan palu segera menggugah perhatian saya sebagai sebuah pernyataan yang subversif terhadap budaya patriarki. Kepala laki-laki yang diganti dengan spatula dan kepala perempuan yang diganti dengan palu seolah menggambarkan kritik konstruksi gender dalam budaya masyarakat jawa yang mengasosiasikan lelaki dengan pekerjaan publik dan perempuan dengan ranah domestik. Namun, melalui pendekatan post-modern Derrida, karya ini justru dapat dilihat sebagai dekonstruksi yang mempertegas diferensiasi gender yang ingin dikritiknya. Alih-alih mengaburkan ketegangan antara peran gender, karya ini malah menguatkan konstruksi patriarki yang membatasi identitas gender pada peran-peran tertentu dalam masyarakat.
Dalam teori dekonstruksi Derrida, oposisi biner—seperti lelaki atau perempuan, publik atau domestik—dianggap sebagai struktur yang membangun makna dalam bahasa dan budaya. Dalam karya ini, simbol spatula dan palu berfungsi sebagai oposisi visual yang mempertegas perbedaan antara lelaki dan perempuan. Kepala lelaki yang digantikan dengan spatula, sebuah alat yang identik dengan pekerjaan domestik, tampaknya berusaha membalikkan peran tradisional lelaki sebagai penyedia di luar rumah.
Teks yang menyertai karya ini juga menambah kompleksitas kritik. Pernyataan, “Sebagian orang-orang masih membesar-besarkan...” secara tidak langsung menyiratkan bahwa peran gender yang berbeda memang ada, tetapi masalahnya hanya pada persepsi yang berlebihan. Padahal, inti masalah bukan sekadar persepsi, melainkan struktur sosial patriarki itu sendiri yang membatasi ruang gerak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian, teks ini justru mereduksi kritik menjadi sekadar persoalan persepsi, bukan kritik mendalam terhadap ketidakadilan struktural.
Menurut Derrida, dekonstruksi bukan sekadar pembalikan oposisi biner, tetapi lebih pada pengungkapan bagaimana oposisi tersebut membentuk dan memperkuat struktur kekuasaan. Di sini, meskipun simbol-simbol alat kerja tampak mencoba melarikan diri dari stereotip gender, mereka justru mempertahankan posisi yang ditentukan oleh konstruksi patriarki. Spatula dan palu bukanlah alat yang membebaskan individu dari peran gender tradisional, melainkan alat yang menegaskan bahwa identitas gender selalu terikat pada peran tertentu—peran yang telah ditentukan oleh struktur sosial yang lebih besar. Karya ini menunjukkan bagaimana setiap upaya untuk menanggalkan simbol tradisional dari pekerjaan domestik atau kasar tetap terjebak dalam kerangka peran sosial yang sama. Keterikatan perempuan pada pekerjaan manual atau laki-laki pada pekerjaan domestik, meskipun dilihat dari sudut yang berbeda, tetap mempertahankan perbedaan yang mengukuhkan hierarki gender.
Ironi yang dihadirkan dalam karya ini semakin menambah kompleksitas dalam interpretasinya. Dengan menggantikan kepala manusia dengan alat kerja, karya ini menciptakan jarak visual antara tubuh manusia dan identitasnya. Alih-alih meruntuhkan norma-norma gender, perbedaan alat yang digunakan justru memperlihatkan bahwa tubuh perempuan dan lelaki tetap terikat pada pembagian kerja yang ada. Spatula, meskipun dipindahkan ke lelaki, tetap berfungsi untuk menegaskan bahwa lelaki—meskipun berada di ruang domestik—masih terikat pada peran pengelola keluarga. Sementara itu, palu pada perempuan, meskipun menyiratkan kesetaraan dalam hal kerja keras, pada akhirnya tetap menggambarkan bahwa perempuan hanya dianggap berharga apabila mereka bekerja keras dalam kontek patriarki yang mengabaikan pengakuan atas kerja tersebut dalam ranah publik. Dengan demikian, karya ini lebih menguatkan diferensiasi peran dan identitas gender ketimbang membubarkannya.
Secara keseluruhan, karya ini menggambarkan bagaimana dekonstruksi yang dilakukan dalam seni tidak selalu menghasilkan perubahan radikal dalam makna atau struktur sosial. Dalam hal ini, upaya untuk membalikkan peran gender tradisional malah mempertegas eksistensi struktur patriarki itu sendiri. Spatula dan palu, yang semestinya menjadi alat untuk menantang peran gender, justru bertindak sebagai pengingat bahwa identitas gender, meskipun dikemas dalam simbol-simbol yang tampak subversif, tetap terikat pada konstruksi sosial yang ada. Sebagaimana Derrida jelaskan, dekonstruksi tidak selalu meruntuhkan oposisi, melainkan sering kali hanya mempertegasnya dalam bentuk yang baru, yang tidak selalu bebas dari makna yang telah terbangun dalam budaya. Karya ini dengan demikian menyajikan sebuah paradoks: meskipun seolah-olah mengkritik patriarki, ia malah membenarkan struktur tersebut dengan cara yang lebih halus. Tetapi upaya yang dilakukan cukup menjadi pantikan yang menarik agar para penikmat kembali merefleksikan relasi gender dalam budaya khususnya dalam karya ini adalah masyarakat jawa. Baik teks maupun visual tidak sepenuhnya membebaskan peran gender dari struktur patriarki. Simbol spatula dan palu yang digunakan malah memperkuat stereotip lama, sementara teks yang menyertai karya tidak dapat menggali lebih dalam tentang ketidakadilan struktural. Sebagaimana dikatakan Derrida, dekonstruksi tidak hanya membalikkan simbol, tetapi juga membongkar makna yang membentuk oposisi biner tersebut. Karya ini, meskipun menarik sebagai upaya kritik, justru memperlihatkan betapa sulitnya membebaskan identitas gender dari cengkeraman konstruksi sosial.
Teks: Munanda Okki Saputro
Editor: A.
Posting Komentar untuk "Paradoks Simbolisme Konstruksi Gender dalam Upaya Kritik Budaya Patriarki"
Posting Komentar