Mengaji Kisah Nyi Ontosoroh, sang Perempuan Pembelajar dari Keterbatasan


 
Gambar: A.


“Jangan sebut aku perempuan sejati jika hidup hanya berkalang lelaki. Tapi bukan berarti aku tidak butuh lelaki untuk aku cintai.” - Nyai Ontosoroh
Kutipan Nyai Ontosoroh, seorang tokoh perempuan dalam tetralogi novel karya Pramoedya Ananta Toer, seolah akan terus dapat dihidupkan apalagi di era modern seperti sekarang ini.

Padahal kutipan ini ada dalam novel berlatar belakang masa kolonialisme Belanda dan ditulis di sekitar tahun ’70an. Di masa kolonialisme Belanda yang bisa kita perkirakan akan sulit perempuan pribumi memperjuangkan haknya untuk tidak dijajah oleh laki-laki.

Pramoedya kiranya menempatkan tokoh perempuan dengan karakter kuat seperti Nyai Ontosoroh yang memiliki nama asli Sanikem ini di posisi yang terhormat, meski diceritakan latar belakangnya bertemu dengan lelaki Belanda karena ambisi sebuah jabatan bapaknya yang waktu itu menjadi juru tulis pada sebuah perusahaan Pabrik Gula Tulangan Sidoarjo, pada usia 14 tahun Sanikem dijual oleh Bapaknya kepada orang Belanda bernama Herman Mellema.

Kepiawaian Pramoedya menuliskan novel roman di tengah era kolonialisme Belanda, sangat terasa seolah kita melihat informasi penting apa saja yang menjadi referensi Pram yang pastinya sungguh luas seluas semesta.

Kemunculan era Feminisme di dunia Barat pastilah sedikit banyak juga mempengaruhi tulisan Pram dalam tetralogi novelnya. Seorang Nyai Ontosoroh hidup dalam era kolonialisme, dengan latar belakang sejarah hidupnya hingga di titik dia menolak dianggap sepele para lelaki pada masa itu.

Keadaan awal bertemunya dia dengan Herman Mellema justru menjadikannya perempuan pembelajar, dan beruntungnya dia bisa dengan leluasa belajar apapun dari apa yang dimiliki oleh Herman Mellema yang seorang Belanda.

Hal ini membuat Ontosoroh menjadi perempuan terpelajar dan berhasil mendobrak serta keluar dari segala keterbatasan meski tidak menempuh pendidikan formal.

Semakin beruntung Ontosoroh, karena segala urusan administrasi perusahaan yang awalnya dipegang oleh Herman Mellema, akhirnya diserahkan kepadanya, karena Herman Millema semakin tua dan sakit-sakitan.

Kehormatannya didapatkan karena posisi yang cukup berpengaruh sebagai pemegang kendali administratif perusahaan Herman Mellema, meskipun segala urusan tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Ontosoroh sendiri yang mengusahakan segala urusan perusahaan sehingga menjadi lancar, sementara Herman Mellema tak berdaya.

Salah satu contohnya, diceritakan bahwasanya Ontosoroh yang berjuang mati-matian mempertahankan harta bendanya ketika hendak disita istri dan anak sah Herman Mellema di Belanda, meski akhirnya dia kalah karena dia bukanlah seorang istri yang sah.

Usahanya termasuk dalam hal mendukung Minke, anak laki-laki pribumi terpelajar yang sedikit demi sedikit membuka jalan bangsa Indonesia pada Kebangkitan Nasional meski pada akhirnya di hari-hari akhir hayatnya, Minke tidak dianggap sebagai tokoh berpengaruh dalam Kebangkitan tersebut, tapi justru sampai di liang kuburnya pun dia tidak dianggap.

Adalah Nyai Ontosoroh yang mengusahakan pada akhirnya Minke mendapat makam yang layak. Nyai Ontosoroh adalah salah satu tokoh perempuan, dalam novel Pramoedya, yang berkisah tentang perempuan pribumi, dengan segala latar belakangnya, segala perjuangannya melawan ketidakadilan era kepadanya.

Perempuan yang pada akhirnya secara hukum yang berlaku, kalah dalam pengakuan anak kandungnya bersama Herman Mellema, dan kegagalannya mempertahankan semua yang dimilikinya, yang akhirnya diambil oleh keluarga sah Herman Mellema di Belanda.

Cinta pada anak perempuannya yang terkasih, Annelis Mellema terus hidup di hatinya karena ia satu-satunya belahan jiwanya, meski raga mereka terpisah karena Annelis meninggal terlebih dahulu atas perpisahan paksa dengan ibunya.

Kisah Nyai Ontosoroh memang bisa dibilang tragis, namun ada banyak hal yang bisa dihayati sebagai perempuan di era modern.

Dunia semakin terbuka luas dan ilmu pengetahuan tak terbatas, sebagai perempuan harus mampu menjadi seorang pembelajar untuk mengembangkan diri dan menjadi solusi atas persoalan-persoalan di lingkungan sosialnya.

Menyimak maha karya Pak Pram, kiranya menerbitkan asa untuk marilah mari meluaskan ilmu pengetahuan seluas semesta. Melecut tekad bahwasanya perempuan juga mesti berdaya, sama dengan lelaki. Menggelorakan upaya berguru pada dunia, apalagi bila perempuan menjalani peran sebagai ibu, maka perempuan akan menjadi guru yang pertama dan yang utama bagi anaknya.

Selamat memperingati hari kebangkitan kaum perempuan setiap hari. Selamat Hari Kartini setiap hari. Selamat menghayati peran sebagai perempuan dalam kehidupan sosial sehari-hari.


Febriana, Ibu 1 anak dan co-learner. Sedang aktif mengasuh anak dan mengajar, menulis narasi gig 'gorong-gorong', dan puisi. Bisa bertegur sapa lewat instagram atau blog Feedback Zine.

*tulisan ini sebelumnya tayang di Liberata Zine 01.

Posting Komentar untuk "Mengaji Kisah Nyi Ontosoroh, sang Perempuan Pembelajar dari Keterbatasan"