Bahan Bakar: Mengunjungi Amatan dan Ingatan

Gambar diolah oleh A.

Tahun lalu, di media sosial, orang-orang jamak membicarakan Joko Kendil. Lelaki paruh baya yang berkelana dari mana entah ke mana—maaf tidak tahu ujung pangkal perjalanan itu. Dhadha tira dalam lirik Lir Ilir muncul sebagai musik sekaligus kalimat pengiring. Mungkin Joko Kendil menganggap jalan kaki sebagai bentuk bahan bakar. Sementara, ketika waktu berbalik di Februari 2025, bahan bakar menjadi masalah dalam obrolan-obrolan setiap orang. Pada saat yang sama barangkali Joko Kendil tidak pernah memperkirakannya.

Bahan bakar yang lekat dengan masyarakat kita disebut bensin. Menurut KBBI daring, bensin merupakan minyak bumi yang mudah menguap dan mudah terbakar (dipakai sebagai bahan bakar mobil dan sebagainya). Sebuah masalah besar jika bahan bakar ini dipermainkan. Terlebih, di bulan Februari 2025 bahan bakar dilekatkan dengan diksi yang cenderung dimaknai negatif: oplosan.

Meski begitu, berbeda dengan bahan bakar yang dipersoalkan khalayak seantero negeri, Leluasa masih berketetapan bahwa bahan bakar yang perlu diperbanyak dan diperluas adalah teks. Jika kondisi itu dapat terjadi, maka napas wacana dan arsip akan semakin panjang. Terlebih lagi membangun kesadaran bukan siapa-siapa bukanlah barang mudah. Mencatat apa yang di-ubet-kan diri, saat ini, rasanya benar-benar penting. Karenanya diksi oplosan dan sejenisnya barangkali kurang relevan. 

Tulisan-tulisan yang tayang di Leluasa adalah api penghangat di tengah basahnya bulan Februari. Sebab, bulan Februari tidak lagi memaksa kita untuk ngiyup tetapi memang tidak diperkenankan ke mana-mana. Didukung apabila hendak mengisi bahan bakar kendaraan yang didapati hanyalah perasaan gamang. Maka, Leluasa datang dengan takaran yang belum tentu pasti pas, namun berupaya tidak memberi keganjilan.

Berkunjung ke Leluasa di awal Februari disambut dengan Mengenang Dunia yang Hilang: Review Karya Patung Imajinasi (2/02). Munanda Okki Saputro kembali berkunjung ke pameran di ISI Surakarta. Pameran bertajuk Imajinasi garapan Hilmi Fahrurozi memberi pengalaman interjeksi mendalam kepada Saputro. Tampaknya, Saputro berkunjung ke banyak pameran di kampus seni itu mengingat tulisan seni rupanya rata-rata berangkat dari sana.

Anak-anak menjadi kuncian Saputro. Pergeseran dunia anak dari ruang ke ruang di setiap zaman lekat dalam tulisannya. Perkembangan zaman dan teknologi membentuk ulang cara anak-anak mengalami dunia. Anak-anak era kini jarang ditemui bermain dakon sebagaimana dua dekade lalu. Namun, anak-anak kiwari memiliki dunianya sendiri berbeda secara bentuk dengan generasi sebelumnya.

Lewat pameran seni rupa yang dikunjungi Saputro, kita digiring turut menyelami. Kritik terhadap pola konsumsi hadiah orang tua kepada anak, lingkungan yang membatasi dunia anak, berkurangnya waktu bersosial anak, hingga batasan yang mematikan kreativitas anak, adalah empat catatan yang diterakan Saputro. 

Seraya berada di tengah pameran, menurut Saputro pameran Hilmi berhasil dalam memanfaatkan barang yang tak bernilai. Di sisi lain ia juga menilai bahwa Imajinasi membangun dunia anak yang tergerus teknologi. Pertanyaan diajukan Saputro sebagai penutup tulisannya perihal posisi kita dalam menjaga dunia anak-anak. 

Dari dunia anak-anak, Leluasa menarik tangan kita untuk pergi ke Lokananta. Di tempat bersejarah bagi perkembangan musik Indonesia itu, kita tahu bahwa sedang ada program Bintang Muda Lokananta. Sebuah program yang mencoba mengakomodasi potensi musisi lewat seleksi yang telah mereka lakukan. Adapun program ini merupakan rangkaian kegiatan di mana ketika Leluasa datang Lokananta Records sedang menggelar workshop.

Lokananta Records: Workshop Musik bagi Bintang Muda Lokananta (17/02), membagikan keseruan yang terjadi di Studio Lokananta. Workshop diisi oleh sosok-sosok penting dalam perkembangan musik Indonesia kiwari. Cakupan materi yang luas bukan hanya memberikan selayang pandang permusikan kepada peserta semata, gambaran mendalam terkait industri musik bekerja menjadi narasi yang mengikat gelaran tersebut.

Leluasa di Lokananta membicarakan potensi anak-anak muda. Namun, jauh dari Belitung, pengertian lain perihal anak muda dibawa Krisnandi Hanggara Putra lewat Ketika Cinta Menjadi Tanggung (18/02). Ia menyoroti persoalan yang menyangkut remaja, keluarga, dan pertautannya. Pernikahan dini, perceraian, perselingkuhan, pendidikan gagal, hamil di luar nikah adalah keadaan yang terlanjur jumud dalam pandangan Putra.

Persoalan yang tidak terselesaikan di kalangan masyarakat kelas bawah. Saat di mana keadaan seolah-olah memaksa masyarakat menuju keadaan rapuh tanpa pilihan. Putra benar-benar menyorot persoalan yang diamatinya hingga memaparkan dampak negatif pernikahan dini, sampai kerugian negara. Masalah yang jika tidak diselesaikan akan terus menjadi turunan dan membesar.

Amatan atas kondisi yang dilakukan Putra senyatanya perlu menjadi perhatian bersama. Mengingat hari di mana kondisi semakin kritis dari pelbagai sisi, maka tawaran yang diberikan Putra sebaiknya bukan hanya sekadar didengar: diupayakan! Sebab, rasa hidup layak dan aman sudah seharusnya dinikmati setiap masyarakat. Bersama-sama mengupayakannya barang tentu adalah cara yang paling relevan.

Karena A. menulis ...suatu hari akan tiba waktunya/ memandang langit dalam kondisi yang tidak terburu-buru... dengan judul Puisi Hijau (22/02). Lewat puisi tersebut, bahasa mengambil peran menenangkan sekaligus merawat keyakinan. Saat di mana teriakan-teriakan menguar dan hilang, A. mengambil puisi dengan cara yang lebih lirih.

A. sepertinya enggan memutus harapan. Hanya lewat harapan sesuatu dapat terus diperjuangkan. Karena hari-hari ...Menikmati hamparan luas tumbuhan padi/ Semoga semua orang dapat menikmati... adalah jalan menambatkan untuk tujuan. Seiring itu, setiap hal yang diperjuangkan sedang mengikuti kompas.

Setiap perjalanan selalu mengalami pertemuan-pertemuan, termasuk ketika Rawat Hayat mengajak kita belajar dari Alam Budaya Spiritualitas (26/02). Di mana pementingan diri sendiri merupakan bentuk acuh tak acuh terhadap segala aspek kehidupan sehingga hidup hanya berikat materi saja. 

Rawat Hayat menitik meditasi sebagai metode agar keseimbangan hidup tetap terjaga. Hal itu sungguh subtil mengingat bagaimana dunia bekerja hari ini. Uraian yang mendalam dari Rawat Hayat seyogianya baik sebagai pengingat dari mana kita ini berasal. Turunan dari masa silam bahwa kita adalah masyarakat yang cenderung tenang dan beradab dalam menghadapi berbagai persoalan perlu ditengok dan pelajari kembali.

Panjang dan padat. Tulisan yang tayang di Leluasa selama bulan Februari 2025 memang berupaya tidak memberikan keganjilan. Setiap tulisan digarap dengan lugas dan bernas. Tak seperti keadaan bahan bakar bensin yang masih menjadi persoalan hari ini. Jikapun itu benar, mungkin saja menguap sebagaimana sifat kimiawinya. Sementara, teks mungkin menguap di hari ini, namun di masa mendatang barangkali ada yang mencari.


Teks: Rudi Agus Hartanto

Baca juga: Catatan editorial Leluasa: Kacamata

Posting Komentar untuk "Bahan Bakar: Mengunjungi Amatan dan Ingatan"