Mengenang Dunia yang Hilang: Review Karya Patung Imajinasi
![]() |
Foto: Hilmi Fahrurrozi |
Dunia anak-anak adalah dunia yang penuh warna, tawa, dan permainan yang seolah tidak ada habisnya. Namun, dunia itu juga berubah seiring waktu, bergeser dari lapangan bermain ke layar gadget, dari suara riuh petak umpet ke heningnya jari-jari yang sibuk menari di atas layar sentuh. Inilah kegelisahan yang diangkat dalam Imajinasi, sebuah karya patung yang bukan sekadar eksplorasi visual, tetapi juga refleksi kritis terhadap bagaimana teknologi membentuk ulang cara anak-anak mengalami dunia.
Lewat bentuk-bentuk yang menghidupkan ingatan masa kecil, karya ini mengajak kita bernostalgia sekaligus mempertanyakan: apakah permainan masa lalu hanya akan menjadi artefak kenangan, atau masih ada ruang bagi anak-anak untuk tumbuh dalam kebersamaan? Dengan pendekatan yang tak hanya artistik tetapi juga menyentuh persoalan konteks sosial dan psikologis, Imajinasi menghadirkan kegelisahan tentang bagaimana modernitas menciptakan individualitas pada anak-anak yang kian terasing dalam dunianya sendiri. Karya ini bukan sekadar pajangan di galeri, tetapi juga percakapan yang perlu kita dengarkan—tentang masa lalu yang perlahan menjauh, dan masa depan yang masih bisa kita bentuk. Semacam setitik optimisme di tengah lembaran pesimisme yang dibawa era modern.
Membuka Dunia Imajinasi di Galeri
Jumat, 10 Januari 2025, lobby Gedung 6 ISI Surakarta tampak berbeda dari biasanya. Hiasan balon warna-warni menggantung di sisi kanan dan kiri pintu. Tepat di atasnya, susunan balon berbentuk huruf membentuk kata IMAJINASI. Ruang yang biasanya dipenuhi mahasiswa berpenampilan rock and roll tiba-tiba berubah menjadi lebih ceria dengan alunan musik anak-anak yang mengiringi pameran ini. Pameran ini menampilkan empat karya patung dari Hilmi Fahrurrozi, yang dipamerkan selama tiga hari di lobby Gedung 6. Setiap patung menghadirkan fragmen-fragmen dunia anak yang kini mulai pudar di tengah digitalisasi.
1. “Kereta Pesta Ulang Tahunku”
![]() |
Foto: Hilmi Fahrurrozi |
Karya ini berbentuk kereta kuda yang menyerupai boneka kuda tunggangan anak-anak, dengan sambungan gerbong yang berisi banyak mainan kecil. Inspirasi dari tokoh fiksi Santa Claus tampak jelas di sini—kereta yang membawa hadiah dan kebahagiaan bagi anak-anak.
Melalui karya ini, Hilmi mengkritisi pola konsumsi hadiah oleh orang tua yang seringkali hanya bertujuan membuat anak senang, tanpa mempertimbangkan nilai edukatif atau interaksi sosial yang ada dalam permainan tradisional. Kini, “hadiah” bagi anak-anak lebih banyak berupa gadget, yang secara tidak langsung menggantikan pengalaman bermain konvensional dengan dunia digital yang cenderung individualistis. Dalam sosiologi anak, fenomena ini disebut sebagai pergeseran dari peer culture—budaya bermain yang melibatkan interaksi sosial—ke screen culture, yang lebih bersifat soliter (Corsaro, 2018). Warna kuning yang dominan dalam karya ini menggambarkan keceriaan, namun juga menyiratkan dilema: apakah kita masih bisa mempertahankan permainan bersama di tengah dominasi layar?
2. “Aku Si Teddy Bear Petualang”
Karya ini menampilkan boneka Teddy Bear yang sedang naik sepeda roda tiga dengan mesin di belakangnya. Mainan-mainan kecil tampak sibuk membantu mengurus sepeda ini, menghadirkan imajinasi anak-anak tentang dunia yang penuh petualangan. Hilmi memasukkan pengalaman personalnya dengan Teddy Bear, menciptakan dunia di mana permainan bukan sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari eksplorasi dan pembelajaran. Di sini, ia menyoroti pentingnya membiarkan anak-anak mengeksplorasi dunia mereka, tanpa terlalu banyak batasan dari orang dewasa. Dalam psikologi perkembangan, ini berkaitan dengan teori free play, di mana kebebasan bermain tanpa intervensi berlebih dari orang tua justru meningkatkan kreativitas dan kemampuan sosial anak (Gray, 2013). Namun, di era digital, eksplorasi ini semakin terbatas karena banyak anak lebih sering “berpetualang” di dunia virtual daripada di dunia nyata. Warna pink redup mengarah ke warna ungu yang digunakan dalam karya ini menghadirkan nuansa sentimentil, seolah mengingatkan kita bahwa kenangan indah masa kecil sering kali baru terasa bermakna ketika kita sudah dewasa.
3. “Aku Si Mekanik Kecil”
Visual boneka Teddy Bear dalam kostum mekanik, memegang rantai mesin sepeda motor kecil bersama mainan-mainan lain yang ikut memperbaiki mesin, mencerminkan bagaimana anak-anak kerap meniru lingkungan sekitarnya. Dalam sosiologi anak, fenomena ini berkaitan dengan teori social learning dari Albert Bandura (1977), yang menjelaskan bahwa anak-anak belajar dari observasi dan meniru perilaku orang dewasa di sekitar mereka. Misalnya, anak-anak yang tumbuh di lingkungan mekanik seperti bengkel akan cenderung bermain dengan meniru aktivitas tersebut. Namun, dengan semakin banyaknya waktu yang dihabiskan di depan layar, proses belajar melalui interaksi langsung semakin berkurang. Warna biru yang digunakan dalam karya ini tampak tidak terlalu mencolok, seolah ingin mengatakan bahwa eksplorasi anak sering kali dibatasi oleh orang tua dengan alasan keamanan dan kepantasan. Padahal, kebebasan anak dalam bermain sangat berpengaruh terhadap perkembangan motorik dan kognitif mereka.
4. “Mobil Bapakku”
![]() |
Foto: Hilmi Fahrurrozi |
Bentuk mobil yang maskulin, lengkap dengan ornamen knalpot dan desain ala mobil balap, menunjukkan bagaimana dunia anak-anak sering kali terinspirasi dari hal-hal yang dianggap “biasa” oleh orang dewasa. Dalam karya ini, Hilmi ingin menunjukkan bahwa bagi anak-anak, hal sekecil apa pun bisa menjadi dunia yang besar dan penuh makna. Mobil ini dihiasi dengan mainan kecil yang tampak bekerja sama dalam membangun mobil balap, mencerminkan bagaimana permainan bisa menjadi ruang bagi anak-anak untuk membentuk narasi dan imajinasi mereka sendiri. Warna oranye yang digunakan cenderung redup, bukan merah menyala seperti warna khas mobil balap. Ini bisa dimaknai sebagai simbol semangat dunia anak-anak yang sering kali dibatasi oleh wacana orang dewasa tentang kepantasan dan keamanan. Kritik ini menarik, karena sering kali orang tua lupa bahwa terlalu banyak batasan justru bisa mematikan kreativitas anak.
Secara konseptual, Imajinasi berhasil membangun dialog tentang dunia anak yang semakin tergerus oleh teknologi. Hilmi mampu mengangkat isu yang relevan dan dekat dengan kehidupan kita semua, terutama dalam kaitannya dengan perkembangan sosial anak. Namun, secara teknis, masih ada beberapa kelemahan yang cukup mencolok. Sambungan antar objek dalam patung terlihat kurang halus, yang menurut Hilmi disebabkan oleh keterbatasan waktu pengerjaan. Selain itu, eksplorasi warna masih bisa lebih variatif. Jika ingin menekankan warna sebagai representasi perasaan dan nuansa, sebaiknya ada lebih banyak gradasi atau tune warna yang lebih dinamis.
Meskipun demikian, karya ini tetap berhasil memanfaatkan barang-barang yang sering dianggap tak bernilai menjadi sesuatu yang artistik dan penuh makna. Imajinasi bukan hanya sekadar karya patung, tetapi juga sebuah pengingat tentang dunia anak yang perlahan-lahan berubah. Dengan pendekatan yang reflektif dan menyentuh, Hilmi tidak hanya mengajak kita untuk bernostalgia, tetapi juga mempertanyakan: di mana posisi kita dalam menjaga dunia anak-anak agar tetap hidup?
Editor: A.
Dukung program & kegiatan Leluasa klik di sini.
Posting Komentar untuk "Mengenang Dunia yang Hilang: Review Karya Patung Imajinasi"
Posting Komentar