Ngiyup: Merasai Respons Personal dan Sosial

Gambar diolah oleh A.

Leluasa: Januari 2025

Leluasa tampaknya sedang berada di hik. Memang begitu kenyataannya. Sembari menyeruput kampul anget bulan Januari, kali ini berbeda dengan bulan Desember di mana Leluasa mengajak menyusuri ruang-ruang—sebab curah hujan tidak terlalu tinggi. Leluasa di bulan Januari mengimbau untuk ngiyup, karena cuaca hampir setiap hari hujan. Tulisan yang tayang di blog Leluasa bulan januari, bisa dinikmati saat ngiyup, duduk di atas motor karena lupa bawa jas hujan.

Maksud bisa dinikmati saat ngiyup di atas adalah agar di tengah rasa tergesa untuk sampai tujuan, namun terhalang hujan, seseorang dapat sejenak menyimak kembali teks. Apa pun bentuknya teks itu. Berhubung tulisan ini di Leluasa, ya, setidaknya membaca teks yang ada di sini. Saat ngiyup saja cukup, tak ada paksaan membaca tulisan di Leluasa setiap hari—tapi mosok tegel? Terlepas dari itu, anggaplah membaca di sini seperti sedang melihat penjual Hik sedang mengiris jeruk untuk kampul anget itu.

Apa yang menjadi rasan-rasan tongkrongan hari ini? Hal itu senyatanya telah menjadi penyambung pelbagai hal: baik atau buruk. Apalagi membicarakan eks-Karesidenan Surakarta, tampaknya rasan-rasan adalah kunci dari segala hal. Entah itu yang berimplikasi positif atau sebaliknya. Untuk itu, penting untuk menyeruput dulu kampul angetnya.

Dua puisi tayang di Leluasa. Pertama, Negeri dalam Simpul Kontradiksi (5/01) yang ditulis Novia Eka Mardani. Di sana metafor barangkali tak terlalu penting. Puisi bukan lagi menyoal keindahan teks, dalam garapan Mardani puisi adalah pernyataan dan tuntutan. Peran kata-kata ialah penyambung resah atas permasalahan kompleks.

Bahasa dalam puisi-puisi Mardani barangkali ditemui ketika gelar aksi massa terjadi. Kelantangan menjadi kata kunci puisi Mardani untuk menguliti sesuatu yang terlanjur bengkok, salah, hingga kelalaian bahwa kontrol terhadap kekuasaan itu penting. Sementara itu, Febriana Widyat Sari lewat Gawat Menggugat (12/01) menampakan kegentingan pada kata-kata.

Terang lampu senyatanya ditemui pada jalan-jalan dengan rute jelas. Namun, bagaimana dengan jalan rute jelas meski tanpa lampu, jalan berlubang, jalan rusak, atau tempat yang asing? Sari mengajak kita membayangkannya: keadaan genting. Membaca puisi Sari, ketika sedang berada di titik terbawah hidup, mungkin saja sebuah gelas terbang. Bahasa menggugah perasaan. Atau, ketika ngiyup, meski sudah jauh dari bibir jalan tetap terkena cipratan air pengendara yang melaju kencang.

Ada apa di sana? Apakah perasaan-perasaan semacam itu yang disebut Sari sebagai “bom”, atau justru kenyataan-kenyataan? Bukan semata karena nomina tersebut lekat dengan peristiwa besar dan mengejutkan, menaruh pertanyaan berlandas kemungkinan bisa saja memberi pengertian. Mungkikah “bom” yang dimaksud Sari terkait dengan diksi yang jauh dari peristiwa mengejutkan yakni “refleksi”. Puisi selalu unik, ia (baca: puisi) kerap mendapati ruang khusus dalam diri pembaca.

Di tengah kelalaian tak membawa jas hujan, dan ngiyup sedikit lebih lama, dua puisi telah terbaca. Januari 2025 menjadi pembukaan tahun penuh pergolakan soal makan siang. Hujan yang sedang dihadapi saat ngiyup ini mengingatkan diri pada terlupanya sarapan dan makan siang. Perut terlanjur terjepit, tetapi hujan tetap saja turun, dan rasanya ingin segera mengisinya. Tetapi, apa daya, hanya makanan di rumah yang dapat mengisi, sebab isi dompet tak sanggup menepi ke warung.

Melihat orang lain sedang ngiyup sembari memakan mie instan gelas, justru Leluasa menghadapkan kita kepada esai-esai. Hal itu mengingatkan kita kepada orang pertama yang melekatkan istilah republik dengan Indonesia. Di masa silam, dia menyoal bahwa jika kepentingan isi perut dikurangi agar dapat mendapatkan akses kepada pustaka.

Tiga esai kita temui di Leluasa, satu soal perempuan, satu tentang pengalaman menonton pertunjukan, dan terakhir berkunjung ke pameran seni rupa. Esai Subordinasi Perempuan, Wujud Ketimpangan Gender (3/01) digarap singkat Novia Eka Mardani. Persoalan ketimpangan gender menjadi adheg-adheg dalam esainya.

Melalui esai Mardani, kritik diajukan kepada sistem sosial yang menimbulkan ketimpangan gender. Di akhir esai, Mardani menyebut pemikir Patricia Hill Collins dan fokus kajiannya. Andai saja di dalam esai pembaca diberi kesempatan singkat bagaimana pemikiran Collins membicarakan ketimpangan gender akan membuat esai terkait makin mentas.

Satu yang mungkin tanggal dari esai Mardani ialah sampel data. Jika diberi data, pembaca yang awam degan isu terkait paling tidak mendapat gambarannya. Bahwa ketimpangan gender ini membuat dunia kacau dan perlu ditata ulang. Menyoal pangkal kesetaraan gender di era kiwari, dipertanyakan dengan lugas oleh Mardani. di mana?

Seiring itu, Laili R. Aisy lewat Sebagai yang Merasa Awam dalam Seni Pertunjukan: Curahan Hati Penonton Teater (22/01) membawa kita ke Monumen Pers Surakarta. Tempat bersejarah bagi perkembangan media di Indonesia. Karena Laili, dengan sadar dan subjektif mari memberi pertanyaan kepada Leluasa: apakah arsip-arsip tulis dan publikasinya dapat ditemukan di sana?

Di Monumen Pers, Aisy tidak sedang berkunjung untuk membuka arsip-arsip pers belaka. Ia datang, mencari pengalaman menonton pertunjukan teater di tempat tak lazim. Dari esai yang ia tulis, ia mengajukan kritik atas bentuk teater yang baginya membingungkan—sayang, Aisy tidak memberitahu kita pertunjukan itu digarap siapa dan apa judulnya. Kritik Aisy cukup tajam.

Aisy mempertanyakan bagaimana seharusnya seni itu ditampilkan atau disampaikan. Kritik dari penonton ini penting, mengingat hari-hari ini kesenian di sekitar kita mencoba menaruh wacana maupun bentuk yang—kerap mengagetkan—berebeda dari pengalaman umum penikmat seni kita. Aisy kesulitan menangkap pesan atau narasi yang dibawa dalam pertunjukan itu. Hal ini menjadi persoalan mendasar yang diajukan Aisy: Apa sebenarnya esensi pertunjukan seni itu sendiri bagi para pemerannya? Itulah pertanyaan yang ia ajukan, menarik bukan?

Seraya membawa memori semasa sekolah bahwa apa itu tujuan adanya seni di dunia, Aisy memberi perspektif lain terkait pengalaman menonton seni tidak hanya berisikan afirmasi belaka. Penonton berani mempertanyakan hal semacam ini tentu sebuah hal yang belakangan jarang ditemui. Resapan empiris dengan argumen yang asyik untuk kembali didiskusikan.

Terakhir, Munanda Okki Saputro mengajukan esai "Menarche" Diantara Persoalan Personal dan Sosial: Lemparan Bola Liar Tentang Isu Gender (10/01). Sepertinya dalam waktu dua bulan, Saputro kerap mengunjungi pameran seni di ISI Surakarta. Lewat esai tersebut, Saputro baru saja berkunjung ke pameran Menarche yang digarap Atisa Syukurandani. Pameran yang mengangkat isu menstruasi ke ruang pamer.

Saputro menaruh perhatian bahwa tubuh manusia bukan sekadar objek biologis semata namun juga terikat dengan objek wacana sosial. Menaruh dugaan bahwa esai yang ditulis menggunakan perspektif analisis sosial-kritis sepertinya tepat. Saputro mencoba mendedah pameran yang dikunjunginya dengan menaruh pertanyaan bagaimana isu menstruasi berada di ruang publik.

“...pameran ini berhasil membuka ruang untuk diskusi yang lebih luas tentang relasi gender. Namun, upaya ini masih membutuhkan penguatan pada narasi dan konteks sosial agar pesan yang ingin disampaikan benar-benar mampu melampaui batas pengalaman personal dan menjangkau wacana publik...” bisa jadi melalui pernyataan itu, Saputro membawa pengalaman empirisnya bahwa membicarakan menstruasi di ruang publik masih menjadi ketabuan.

Pengalaman ngiyup ditutup dengan masalah ketabuan. Masalah fundamental yang sering luput dari perhatian. Sayangnya hujan Januari terlanjur reda, masalah perut belum juga teratasi. Ke mana wacana puisi dan esai-esai di Leluasa berpihak? Di tempat makan, barangkali pertanyaan terakhir ini menadapatkan respons beragam. Saatnya kembali menyentuh aspal jalanan yang tidak lagi berdebu karena sedang musim hujan, tetapi membuat tubuh kita pliket.



Baca juga: Catatan editorial Leluasa Kacamata

Dukung kami klik di sini



Posting Komentar untuk "Ngiyup: Merasai Respons Personal dan Sosial"