Pendidikan, Barang Jualan yang Laris Hingga Saat Ini

Gambar: A.

“Pendidikan yang harusnya sebagai alat untuk melawan pembodohan dan alat untuk membebaskan manusia, kini mereka ubah menjadi alat pencetak mata uang”

Salah satu sektor yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat hingga saat ini adalah pendidikan. Maka dari itu, pihak negara maupun swasta berlomba-lomba mendirikan sekolah atau institusi pendidikan. Mulai pendidikan anak hingga universitas, dari pendidikan dasar sampai perguruan tinggi bahkan hingga bimbingan belajar pun mulai ramai dikembangkan. Mereka, sesama instititusi pendidikan pun saling adu saing dengan pengembangan maupun fasilitas. Sekolah yang harusnya menjadi sarana untuk pembelajaran, berdiskusi dan bertukar pikiran pun beralih tujuan menjadi ajang perebutan gengsi dan strata sosial di masyarakat dengan tolok ukur dimana ia bersekolah atau berkuliah.

Hal-hal tersebut menjadi peluang bagi para “pengusaha” pendidikan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dari kantong orang tua murid. Pengembangan infrastruktur, fasilitas dan pembelajaran selalu jadi kedok untuk menguras isi kantong wali murid. Pendidikan yang harusnya sebagai alat untuk melawan pembodohan dan alat untuk membebaskan manusia, kini mereka ubah menjadi alat pencetak mata uang yang mengisi dompet-dompetnya.

Dengan itu, orientasi orang tua untuk menyekolahkan anak pun bergeser. Harapannya anak mereka mendapat nilai bagus bagaimanapun caranya dan setelah lulus memperoleh kerjaan layak serta bayaran besar. Seakan-akan anak mereka dipaksa untuk mengembalikan uang yang telah dibayarkan saat anaknya disekolahkan. Pembelajaran tentang kemanusiaan, hak asasi manusia dan melawan pembodohan bukan menjadi hal yang penting didapatkan di sekolahan.

Di lembaga pendidikan saat ini siswa-siswanya hanya dididik menjadi pribadi yang patuh atau “manut-manut” saja dengan apa yang dikatakan oleh guru. Sekan siswa diposisikan sebagai kambing dan guru sebagai penggembalanya. Guru ditempatkan sebagai orang yang paling mengerti segalanya dan siswa menjadi orang paling tak tau apa-apa. Padahal sejatinya kelas menjadi tempat untuk bertukan pikiran dan komunikasinya berjalan dua arah, tak ada yang paling pintar atau sebaliknya. Alih-alih guru memberikan transfer ilmu, dengan kondisi objektif sekarang kebanyakan guru malah menjadi pendikte siswa supaya mengamini apa saja yang mereka sampaikan di depan kelas.

Keadaan ini memaksa siswa menelan mentah-mentah apa yang guru mereka sampaikan di depan kelas. Tidak ada sanggahan, interupsi atau kritik terhadap apapun yang disampaikan oleh guru. Hal ini membuat guru menjadi antikritik dan di-“tuhan”-kan atas segala apa yang ia katakan. Meminjam istilah Paulo Freire, pendidikan semacam itu disebut sebagai pendidikan gaya bank. Konsep ini menganggap pengetahuan adalah sebuah anugerah yang dihibahkan oleh orang yang menganggap diri mereka berpengetahuan (guru) kepada mereka yang lumpen pengetahuan (murid).

Salah satu pengaruh terbesar adalah sistem pendidikan warisan Belanda, di mana lembaga pendidikan hanya sebagai penyuplai tenaga kerja bagi industri. Sistem itu masih dilanggengkan sampai sekarang. Diwujudkan dalam kurikulum yang disusun dan disesuaikan dengan kebutuhan industri. Bahkan setelah maraknya kapitalisasi pendidikan di negara kita, tak ayal membuat slogan pendidikan adalah hak seluruh warga negara seperti yang tertulis dalam pasal 31 UUD 1945, hanya akan menjadi isapan jempol. Pendidikan sebagai alat pembebasan pun seperti yang dikatakan Paulo Freire tidak akan pernah kita temukan di kelas-kelas, kampus atau bangku sekolah.


Ardan "Blowor" Widodo, buruh sablon, guitaris band hardcore dan mengelola ruang kolektif bernama Komune Liberata. Sapa 13lows di instagram.


*sebelumnya opini ini tayang di Leluasa Zine Edisi 4.

Posting Komentar untuk "Pendidikan, Barang Jualan yang Laris Hingga Saat Ini"