Kesan dalam Gambar: Rupa-rupanya “Melukis di Tengah Peran: Dwi Prakoso Wijayanto dalam Gambarnya”

Artwork Dwi Prakoso di Monolog Pejalan. Photo: Dok. Munanda Okki
Meskipun bukan peristiwa besar semacam revolusi seperti Dullah dan murid-muridnya, Dwi Prakoso dalam gambarnya sedang merekam zaman. Karya yang seolah personal namuan menyimpan tumpukan konteks sosial yang terinternalisasi dengan harmonis.

Sebagai seseorang yang tidak lahir dari lingkungan seniman dan tidak memiliki latar belakang dalam disiplin seni rupa, saya sering kali merasa bahwa semua karya seni lukis memiliki daya tarik tersendiri. Kunjungan ke pameran seni menjadi pengalaman yang personal—saya cukup menikmati setiap karya sambil menyimpan kesan dalam hati seperti, “Wah, ini bagus”, “Yang ini manis”, atau “Yang ini terasa seram”. Namun, mendengarkan diskusi mendalam tentang sebuah karya seni juga memberikan perspektif baru yang menarik. 

Sayangnya, pameran seni rupa sering kali terasa eksklusif karena digelar di galeri seni, tempat yang “terkesan” hanya untuk segelintir orang atau dapat dikatakan segmented. Pengalaman pertama saya mengunjungi pameran meninggalkan kesan, seperti ada jarak antara seni yang dibicarakan secara serius dan publik secara umum. Bahkan, meski ada beberapa pameran yang diselenggarakan di ruang publik, jumlahnya relatif sedikit. Hal ini dapat dikaitkan dengan sejarah panjang seni rupa yang kerap dianggap sebagai bagian dari budaya kelas atas, seperti yang disebutkan Bourdieu dalam teori tentang distinction, di mana seni menjadi simbol status sosial yang terpisah dari masyarakat luas (Bourdieu, 1984). 

Pengalaman yang berbeda saya rasakan ketika melibatkan diri pada agenda “Rupa-rupanya”, sebuah ruang apresiasi seni rupa di warung kopi Monolog Pejalan. Acara ini menjadi ruang diskusi santai antara pembuat karya dan penikmat seni, melibatkan mereka yang umumnya tidak memiliki latar belakang seni rupa formal namun tetap menghasilkan karya-karya yang menarik. Hal ini mencerminkan apa yang disebut oleh Bishop (2012) sebagai "seni partisipatoris," di mana seni tidak hanya dihasilkan oleh institusi formal, tetapi juga oleh komunitas, individu maupun tongkrongan yang mendobrak batasan tradisional seni rupa. Tempat di mana karya di pamerkan yaitu warung kopi juga menjadi hal yang menarik sebab terkesan lebih santai dan dapat diakses siapapun; baik yang sengaja mau melihat karya atau individu yang sekedar hendak ingin nongkrong saja.

Pada Senin, 18 November 2024, agenda Rupa-rupanya mengulik karya Dwi Prakoso Wijayanto. Agenda ini memilih tajuk "Melukis di Tengah Peran" terpantik dari buku karya Fatih Abdullbari yang berjudul “Melukis Di Tengah Perang” mengenai arsip dokumentasi nasional yang dikerjakan oleh Dullah dan murid-muridnya di mana kerja-kerja keseniannya adalah merekam zaman, lebih tepatnya merekam dinamika Revolusi Indonesia pada agresi militer Belanda II. Tema ini menggambarkan bagaimana Dwi Prakkoso memanfaatkan seni sebagai ruang ekspresi alter ego yang bersumber dari pengalaman personal, ingatan, dan respon terhadap fenomena sosial. Meksipun bukan peristiwa besar semacam revolusi seperti Dullah dan murid-muridnya, Dwi Prakoso dalam gambarnya sedang merekam zaman. Karya yang seolah personal namun menyimpan tumpukan konteks sosial yang terinternalisasi.

Menariknya, karya yang dipamerkan sebagian besar berupa pen drawing, teknik yang membutuhkan kesabaran dan perhatian pada detail. Mayoritas karya Dwi Prakoso menghadirkan karakter kompleks dengan visualisasi lebih dari dua objek. Proses kreatif Dwi Prakoso mencerminkan keterbatasan teknis yang justru menjadi keunikan karyanya. Seperti yang dia akui, ia memiliki kelemahan dalam menggambar objek tunggal yang proporsional, tetapi ia menutupinya dengan ornamen dan detail yang memperkuat narasi. Pendekatan ini menarik karena ia memanfaatkan keterbatasan sebagai kekuatan, sejalan dengan teori kreativitas yang menyatakan bahwa batasan dapat memacu solusi inovatif (Amabile, 1996 : Creativity in context: Update to the social psychology of creativity). 

Gambar: Rakitroket

Karakter visual Dwi Prakoso yang kuat dapat dilihat dari elemen-elemen seperti wayang, reog, dan tumbuh-tumbuhan—referensi yang mencerminkan kedekatannya dengan tradisi lokal dan objek-objek keseharianya yang tinggal di pedesaan. Karakter tersebut ada di hampir semua gambar yang ia kerjakan ; hanya  4 dari 25 karya yang berisi objek tunggal. Demikian terlihat terdapat perbedaan yang begitu mencolok antara karya yang telah menjadi karakternya, yaitu tumpukan objek yang beragam dengan ornamen yang mempermanis, dengan karya yang ia buat dengan objek tunggal. Hal ini, misalnya, tampak dalam karyanya berjudul Triwikrama. Gambar ini menampilkan Rahwana dengan Dasamuka: sepuluh wajah, sepuluh pasang tangan, satu badan, dan sepasang kaki. Wujud Rahwana digambarkan rupawan dan gagah, meski dalam cerita pewayangan wujudnya lebih dekat dengan sosok Buto. Triwikrama dikerjakan saat masa pandemi covid-19. Secara umum, virus pada saat itu sering kita jumpai di media sosial digambarkan dengan bentuk bulat serta memiliki duri-duri yang terpancar. “Triwikrama adalah gambaran yang saya dapat ketika saat itu membayangkan bentuk virus yang sering muncul di media” ujarnya. Referensi ini menunjukkan bagaimana pengalaman sosial global diterjemahkan ke dalam konteks visual yang personal. Garis bentuk visual virus covid-19 diterjemahkan dalam bentuk Triwikrama (pewayangan). 

Namun, dalam konteks seni sebagai media kampanye sosial, saya merasa karya Dwi Prakoso masih memiliki ruang untuk di eksplorasi lagi. Dalam konteks ini, menarik untuk mengulas lebih jauh mengenai relasi antar objek dalam karya Dwi Prakoso. Salah satu keunikan karya-karyanya terletak pada keterbatasan teknis yang justru memunculkan kreativitas untuk memperkuat narasi. Kelemahan dalam menggambarkan objek tunggal secara proporsional ditambal dengan menambahkan detail ornamen dan objek lain sehingga dapat memperkuat narasi utama. Namun, di sisi lain, pendekatan ini juga melahirkan ketimpangan visual. Ketimpangan ini terlihat ketika satu objek dominan (sebagai narasi utama) mendapat perhatian lebih dibandingkan elemen-elemen pendukung, yang hanya berfungsi sebagai pengisi ruang.

Ketimpangan visual dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, penambahan elemen ornamen membantu memperkuat atmosfer visual dan narasi. Namun, di sisi lain, ini bisa mengaburkan fokus narasi utama jika objek-objek pendukung lebih menonjol dari narasi inti. Dalam konteks seni sebagai medium kampanye sosial, relasi antarobjek ini menjadi penting untuk diperhatikan. Menurut Bourdieu (1993) dalam The Field of Cultural Production, kekuatan sebuah karya seni tidak hanya pada visualnya tetapi juga pada kemampuannya menyampaikan pesan kepada publik. Ketimpangan visual dapat menciptakan kesenjangan dalam pemaknaan yang akhirnya mengurangi dampak pesan karya.

Namun secara keseluruhan, Dwi Prakoso membawa seni tradisi ke dalam konteks modern dengan cara yang halus dan inovatif. Caranya menginternalisasikan fenomena sosial dapat mewujud karya yang sangat personal dan menyentuh. Karya-karyanya berhasil memadukan tradisi seperti wayang dengan estetika yang dapat diterima oleh publik modern, menghubungkan masa lalu (kepopuleran yang lalu) dan masa kini (kepopuleran kini). Ini adalah kontribusi penting dalam menjaga relevansi seni tradisi di tengah arus perubahan zaman.   

 

Munanda Okki Saputro, pemuda Tawangmangu dan mahasiswa Sosiologi UNS. Saat ini aktif berproses di Monolog Pejalan dan bisa dijumpai di instagram.


Photo: Dok. Munanda Okki

Posting Komentar untuk "Kesan dalam Gambar: Rupa-rupanya “Melukis di Tengah Peran: Dwi Prakoso Wijayanto dalam Gambarnya”"