Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rumah Itu Bernama Komune Liberata

Jangan tunggu orang lain untuk menulis tentang dirimu atau skenamu. Coba menulislah tentang dirimu dan apa yang terjadi di skenamu.” Satu kalimat yang selalu dituliskan Leluasa dalam setiap proyek yang ia kerjakan.

Walupun katanya kalimat ini pun dicomot dari Tremor, vokalis Milisi Kecoa. Tapi tak penting lah siapa yang bilang soal itu, yang jelas saya sepakat.

Saya akan bercerita secara personal tentang sebuah ruang kolektif sekaligus rumah singgah yang ada sejak tiga tahun lalu (atau lebih). Sebuah ruang yang terbentuk secara organik bernama Kolektif Ruang Lingkup, yang kini berubah menjadi Komune Liberata.

Dimulai dari gagasan untuk menyewa rumah bersama beberapa kawan sebagai tempat tinggal di tanah perantauan (walau rumah saya gak jauh jauh amat sih, cuma beda kota jadi anggap saja merantau ehehe). Sampai pada akhirnya kami memutuskan untuk mengaktivasi rumah sewaan yang tak seberapa luas ini menjadi ruang kolektif. Oh ya, rumah yang pertama kita tempati ini milik keluarga seorang seniman mandul nan songong, Adlan ‘Soleto’. Nama Kolektif Ruang Lingkup sendiri muncul secara spontan, seingat saya selepas acara diskusi apa waktu itu, saya juga kurang ingat, di UMS dari mulut Congo. Tidak ada hal yang harus dijelaskan secara filosofis dari nama tersebut, di pikiran kami waktu itu yang penting ada nama saja sudah cukup.

Singkat cerita, di tahun kedua kami berdiri, Covid-19 melanda bumi. Usaha kolektif yang kami bangun waktu itu, Proletar Project hancur tidak jelas. Selain karena covid-19, manajemen dan sistem kerja yang buruk membuat semua jadi berantakan. Patah arah sudah barang tentu di kondisi carut marut semacam ini. Pada akhirnya kami memutuskan untuk menghentikan perjalanan pada waktu itu. Berkat dorongan dan suntikan semangat dari kawan-kawan, kami kembali dengan ruang baru dan nama baru Komune Liberata.



Disini saya belajar banyak hal dan bertemu, bekenalan hingga tinggal bersama manusia-manusia ndableg nan absurd seperti Soe ‘Menolak Tobat’, Abut, Iss serta Awwab kawan saya sejak berumur 3 tahun, 21 tahun lalu, yang tidak lain tidak bukan adalah adik saya sendiri. Masih banyak lagi mungkin orang-orang yang pernah bernaung bersama kami yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Di ruang ini pula saya bertemu dengan manusia absurd dari lintas komunitas. Sebut saja Dian/Leluasa, bassis The Suse sekaligus sang aktivator skena Sukoharjo, walaupun sering ejek-ejekan dalam hal karya sebagai bumbu dalam pertemanan. Yansi/Blanco Project videografer berparas preman namun pada kenyataannya, ia adalah seorang yang sangat baik, yang sering menyuplai gizi kawan-kawan dengan membawa masakan istrinya ketika berkunjung kemari. Amri/Diiver writer asal Kota Jamu yang sebernya saya ingin ngobrol intens dengannya, walau sering berjumpa dalam berbagai agenda, namun kesempatan itu belum terjadi sampai hari ini. Antara saya yang sulit bergaul dengan orang baru atau memang dia yang songong, entah. Hahaha. Pak Mamik Bagero, vokalis dari OM Bapersob, dedengkot Sriwedari yang masih istiqomah di jalan yang ia yakini walau usia sudah tidak muda lagi. Mas Paton, pembetot bass Gerbang Singa, kawan sharing mie ayam recommended di Solo. Mas Ronny Rontok ‘Latar Jembar’, seorang nihilis dan organizer ulung yang tak nampak mau dipermukaan, yang setelah lama kenal, baru tahu beberapa hari lalu jika ia ayah kandung kawan saya. Itu mungkin baru segelintir manusia absurd lintas komunitas yang saya temui lewat ruang ini. Yang jelas semua orang yang pernah saya temui di ruang ini, akan selalu mengena di hati saya. ‘Wesyeeh

Hari ini Komune Liberata sedang berfokus pada pembahasan tentang isu ‘ekonomi kolektif swakelola’, sebuah ekonomi yang dijalankan secara kolektif tanpa adanya bos. Sementara baru ada Arus Balik Cooperative dan Swaka Sablon sebagai laboratorium sekaligus penopang ekonomi beberapa kawan dan keberlanjutan ruang ini.

Terlalu banyak yang harus saya tulis secara personal jika bicara soal ruang ini, bahkan tidak cukup kalau hanya dengan tulisan ini. Dari mulai harus menjual motor demi menambal kekurangan sewa rumah, hampir kemalingan, uang yang tiba-tiba hilang entah kemana hingga membuat regu dangdut modal dengkul, The Morleth. Intinya, asam, garam dan manis sudah saya lalui bersama ruang ini dalam beberapa tahun kebelakang. Meminjam lirik lagu Ndarboy Genk ‘sedih lan kebahagiaan dilewati tahun-tahunan’. Silih berganti orang keluar masuk dari ruang ini. Tapi saya sama sekali tidak menyesal walaupun beberapa kali harus ditinggal kawan yang saya kenal lewat sini, dari mulai dapat kerja di luar kota, melanjutkan studi hingga membawa lari uang kolektif dan jadi ormas (yang terakhir memang sudah tidak bisa dianggap teman lagi sih). Paling tidak selama tiga tahun berjalan, harapan saya pribadi tidak muluk-muluk amat sebenarnya. Jika ruang ini terus berlanjut, semoga menjadi saksi sejarah bagaimana banyak hal yang dimulai dari ruang ini. Jika harus berhenti pun semoga jadi artefak yang baik dan selalu terkenang.


Ditulis oleh Ardhan "Blowor" Widodo.

Jika teman-teman mau mampir bisa hubungi Komune Liberata.



Posting Komentar untuk "Rumah Itu Bernama Komune Liberata"