Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sukoharjo Adalah Sejarah | Rudi Agus Hartanto


"Bukan tidak mungkin, persoalan perbedaan pandangan di Sukoharjo ini bisa jadi dapat melebur. Iya, melebur. Bukan melebur untuk menyatukan pandangan, bukan. Tapi mendudukan perbedaan ini dalam satu ruang yang sama, untuk suatu proses bersama. "


Subyektifitas menjadi bagian penting dari tulisan ini. Sangat. Ya, hidup di Sukoharjo selama tak kurang empat tahun ke belakang memberi banyak catatan setiap perjalanan yang saya lalui. Awal-awal hidup di kota ini saya sering ngobrol dengan Ipul bagaimana jika sebuah gigs terdiri dari berbagai kesenangan pada setiap orang yang ada. Tentu, dari rumah keperluan utama hidup di Sukoharjo adalah belajar. Ternyata yang sebelumnya orientasi belajar mesti terpusat pada kota-kota besar, setidaknya bagiku Sukoharjo merupakan sebuah kota besar setelah bertemu dengan kawan dari berbagai latar belakang, lingkaran a.k.a tongkrongan, dan tentunya kenekatan— serba berbagai, pokoknya.

Saya meyakini bahwa sebelumnya pasti ada pelaku sejarah yang telah memulai melakukan hal-hal yang disenanginya di masa lalu— sayang karena keterbatasan bensin belum mampu untuk menemuinya. Setelah mengorbankan sedikit bensin dan beban uang saku untuk mengenal kawan-kawan— setidaknya mengenal, banyak hal yang terselip dan tidak dapat naik ke permukaan apa yang sudah dibuat dan ide-ide liar yang masih bertahan di ubun-ubun untuk ditelurkan. Saya cukup mencintai kultur-kultur bawah tanah seperti yang sering saya temui dengan kawan-kawan, begitupun dengan kultur tradisi yang juga sangat saya hormati karena memang dari rumah saya dekat dengan hal-hal itu. Namun, hal itu tidak menyurut keinginan untuk mengenal, memahami, dan setidaknya turut mencurahkan ide-ide liar yang ada di kepala.

Sukoharjo, selain menjadi tempat belajar juga membentuk banyak hal pada diri sendiri. Kawan-kawan memang tidak sekadar kawanan saja. Tidak. Kawan-kawan adalah ruang di mana banyak hal akan mendapat respon kritik maupun dukungan. Saat puisi tidak hanya dibacakan di gedung teater mewah, ataupun di ruang-ruang eksklusif yang hanya kalangan tertentu saja yang mampu mendatanginya. Mengingat dulu apa yang dilakukan Chairil Anwar, W.S Rendra, Wiji Thukul, dan penyair lainnya. Tentu, kawan-kawan mungkin porsinya tidak sebesar mereka, tapi rasanya euforia yang dilakukan pendahulu lakukan juga disiarkan kawan-kawan. Selain pada aksi massa, alternatif juga disadari sebagai bentuk tawaran lain. Trotoar, gazebo, alun-alun, dan bahkan tempat parkir dapat menjadi ruang ekspresi kawan-kawan, dalam hal ini utamanya puisi— karena saya sangat mencintainya. Lebih dari itu, pembacaan puisi yang belakangan sering saya temui hanya pada ruang-ruang workshop, seminar, warung kopi, dan ruang eksklusif ditebas dan dipatahkan oleh kawan-kawan, di Sukoharjo puisi juga dapat berdiri satu panggung dengan musik Hardcore, Metal, Hip-hop, Punk, dan Lainnya. Terkadang, kawan-kawan yang juga memiliki keseharian menggambar turut memamerkan karyanya di ruang yang sama. Betul-betul estetika arus bawah, bukan? Estetika kesetaraan, bukan? Mungkin, juga estetika spiritual?— tentu ini opini saya.

Mungkin— lagi, karena saya kurang menghabiskan bensin untuk bermain ke berbagai tempat, banyak hal-hal sama juga dilakukan kawan-kawan di luar sana. Bukan tidak mungkin, persoalan perbedaan pandangan di Sukoharjo ini bisa jadi dapat melebur. Iya, melebur. Bukan melebur untuk menyatukan pandangan, bukan. Tapi mendudukan perbedaan ini dalam satu ruang yang sama, untuk suatu proses bersama. Bahkan, bila pun tidak terjadi, kawan-kawan sudah melakukan— setidaknya sudah dicatat zaman. Meskipun kecil.

Kebandelan, kenekatan, dan keliaran ini pasti akan terus berlangsung— apalagi kalau mendapat tekanan idamannya idamanku, haha. Ada beberapa hal penting dan disadari kawan-kawan di Sukoharjo selain gigs. Pengarsiapan, nah biasanya ini, kan, bentuk protes dari kawan-kawan muda mengapa tidak ada warisan yang jelas dari pendahulu. Mungkin, apa yang menghambat proses-proses di masa lalu, atau mengapa mimpi-mimpi sulit terwujud, dan lain hal. Kawan-kawan ini sadar, meskipun bisa dibilang masih kecil. Dengan pengarsipan, tentu apabila estafet generasi akan berlanjut, dapat belajar dari arsip-arsip yang ada— tanpa perlu ngomong mbiyen aku arep nggawe, aku wis pernah ngene, bla-bla-bla, kecuali memang diajak, haha. Pun apabila kawan-kawan dengan api yang berkobar ingin terus melanjutkan, dengan adanya arsip dapat dijadikan sebagai sumber evaluasi dan referensi guna keberlanjutan mimpi-mimpinya. Kedua, ekosistem, sebelumnya jika ada sebuah keinginan— membuat satu kegiatan musik misalnya, tentu yang dibutuhkan tidak semuanya menjadi pemain band, perlu ada yang ambil bagian sebagai teknisi, merchandising, manajemen, dll. Di luar itu, perlu juga bagaimana kerja-kerja branding dapat berjalan— maaf analoginya musik, karena kata mas Nano (Vokalis Louis) lebih universal, tentu sastra diajak juga boleh, kok, apalagi kalau bisa satu panggung lagi, haha. Ketiga, kebertahanan, arus yang serba cepat dewasa ini menuntut kehidupan juga turut berjalan cepat dan instan, saya rasa kata mbah-mbah dulu terkait kesabaran juga perlu dijadikan pertimbangan dalam konteks kebertahanan ini. Keempat, orientasi, entah dalam waktu ke depan apa yang sudah dibangun hari ini hendak dibawa kemana, menjadi lebih maksimal ketika ada target-target kecil menuju sebuah target besar— karena berhadapan dengan waktu, Sayang. Sebab, ini berkaitan dengan harapan, mimpi, dan wujud ekspresi diri.

Kembali ke pembuka kalimat tulisan ini, Subyektifitas menjadi bagian penting dari tulisan ini. Ya, bagi saya Sukoharjo adalah sejarah, dengan melihat dan menjadi bagian kecil pergulatan kawan-kawan muda— sebagai cah anyaran, terhadap realitas yang dihadapinya. Pun, jika diizinkan dan apabila mendapat kesempatan Sukoharjo akan menjadi pengantar di setiap cerita yang akan tersampaikan. Bila pun tidak, Sukoharjo akan menjadi tempat di mana kesunyian diri menuju dan dituju. 

Batas harus dilibas, harapan harus dibangun. 

Salam,

Rudi Agus Hartanto


Posting Komentar untuk "Sukoharjo Adalah Sejarah | Rudi Agus Hartanto"